Evidence 7: À La Café

385 82 17
                                    

Ah, memang seharusnya seperti ini kehidupan yang dimiliki Revan. Gegap gempita tepuk tangan dari para penonton yang memenuhi tribun, menyaksikan konsernya yang luar biasa hebat. Napasnya tersengal, tapi mulutnya tidak bisa berhenti membentuk senyum lebar. Dia berhasil. Revan Pragiwaka kini jadi salah satu nama yang patut diperhitungkan di dunia musik Indonesia.

Lagu-lagu buatannya sering masuk tangga lagu dan menempati posisi tiga teratas selama beberapa minggu berturut-turut. Banyak kafe memutar lagunya. Radio-radio ternama di seluruh negeri memainkannya berkali-kali akibat permintaan yang membeludak. Cowok-cowok memakainya untuk merayu cewek-cewek. Para gadis yang patah hati mendengarkannya bagaikan lagu wajib di kala hati gundah. Kariernya terus menanjak, dan tidak terlihat akan turun sedikit pun.

Sayangnya, tepuk tangan itu perlahan-lahan berubah menjadi ketukan di pintu. Gambaran tadi menghilang, digantikan dengan langit-langit putih yang menyambut Revan pagi ini.

Sialan, kesuksesannya tadi hanyalah mimpi.

Tidak apa-apa, sekarang ini, keinginannya menjadi penyanyi sukses memang cuma bisa dimimpikan. Tapi suatu hari, Revan akan memastikan mimpi itu jadi nyata. Dia akan betulan mengadakan konser di atas panggung, ditonton oleh ribuan orang yang menggemarinya dan mengelu-elukannya. Dia tidak akan hanya jadi penyanyi yang bakatnya sia-sia saja didengarkan orang-orang sambil lalu di jalanan.

Gedoran di pintu semakin keras, memaksa Revan bangkit dan membuka pintu. Jika dia bisa sampai bermimpi seperti itu, tidurnya pastilah begitu nyenyak. Entah sudah jam berapa sekarang ini. Seorang laki-laki kurus berdiri di depan kamarnya, menyeringai. Revan tidak mengenalinya.

"Lu Revan, pan? Geus (udah) ditungguin Neng Sasha di bawah, ceunah mau diajak pergi ke mana, gitu."

Revan ingat melihat laki-laki ini kemarin. Laki-laki yang bekerja sebagai bartender. "Oh, oke. Makasih," balasnya kaku.

"Kita teh can (belum) kenalan. Gua Arga, penghuni 303."

"Gue Revan." Revan menyambut tangan laki-laki itu. "Lo yang kerja jadi bartender?"

"Iya. Gua mau tidur dulu. Capek pisan."

Setelahnya, Arga meninggalkan Revan begitu saja, masuk ke kamarnya sendiri. Revan berjalan mendekati balkon. Sasha sudah ada di bawah, sedang berbicara dengan seorang ibu-ibu entah siapa. Saat melihat Revan, Sasha segera melambaikan tangan.

"Ayo!" seru Sasha.

"Tunggu sepuluh menit," balas Revan sekenanya.

Dia langsung bergegas ke kamar mandi. Sepuluh menit setelahnya, dia turun, mendapati Sasha sedang mencatat sesuatu di bukunya. Dari yang bisa diintip Revan, sepertinya Sasha sedang belajar. Dia tidak memahami sedikit pun isi catatan Sasha.

"Lo mau ajak gue ke mana?" tanya Revan tiba-tiba, membuat Sasha terlonjak.

"Jangan ngagetin, dong," gerutu Sasha sambil membereskan barang-barangnya. "Ke kafe punya abang sepupu gue. Namanya Etimologi."

"Gue disuruh kerja di sana?"

Sasha mengangguk. "Mereka lagi nyari musisi. Nanti lo bisa main di sana waktu weekend. Waktu weekday, mungkin lo bisa jadi waiter. Lumayan, kan?"

Revan berusaha mencerna informasi itu. "Oke."

"Nggak terlalu jauh, kok. Nggak sampai sepuluh menit."

Benar saja, perjalanan dengan motor tidak mencapai sepuluh menit-atau setidaknya, itu yang Revan percaya, karena rasanya mereka begitu cepat sampai. Kafe ini terlihat seperti jenis tempat yang akan didatangi kawula muda untuk berbicara panjang lebar, dari buka sampai tutup. Bagian depannya terlihat bersih dan nyaman, dengan jendela-jendela besar dan tanaman-tanaman segar di depannya. Tulisan "Etimologi" tercetak di salah satu jendela itu.

The Theory of the UniverseWhere stories live. Discover now