Empat

612K 21.5K 323
                                    

Selamat sore, selamat beristirahat dan selamat membaca semua

====

"Diam!" Bentak Xavier mendengar tangisan Zeva yang membuatnya bertambah pusing. Bergerak gelisah, dia mengacak rambut. Membodohi diri sendiri dan pusing memikirkan hidupnya kini.

Tangisan Zeva yang tak berhenti, membuatnya semakin marah. "Kamu tahu, saya tidak sudi memiliki anak bersamamu."

Zeva mengangguk, dia tahu. Bahkan dia tak berharap Xavier akan menikahinya. "Saya mohon Pak, biarkan saya mempertahankan anak ini." Hanya itu yang diinginkannya. Dia ingin merawat dan membesarkan anak yang sudah dititipkan kepadanya.

"Dan meminta saya bertanggung jawab, jangan harap." Xavier menatap Zeva tajam, dia mendengkus jijik menatap gadis itu.

Menggeleng lemah, Zeva berkata, "Saya akan pergi. Saya akan meninggalkan kota ini asal diperbolehkan mempertahankan anak ini." Demi melindungi anak ini, bahkan dia rela harus meninggalkan kota kelahiran. Kota yang membuatnya memiliki banyak penghasilan.

"Anak ini tak bersalah Pak. Dia tidak tahu apa-apa," kata Zeva lagi mencoba merayu. Dia berharap banyak Xavier akan berubah pikiran.

Xavier menggeleng tegas, dia menunjuk Zeva dengan jarinya. "Pilihanmu hanya satu, gugurkan kandunganmu itu," kata Xavier. "Saya akan mencari dokter yang ahli dalam hal ini." Berbalik ke arah pintu, sudah saatnya dia pergi, basa-basinya cukup sampai di sini saja.

"Pak... Pak. Anda mau ke mana? Pak saya mohon."

Teriakan dan permohonan Zeva dianggapnya angin lalu, kini tiba saatnya dia menyusun skenario pemecatan Zeva dan juga mencari dokter yang mau dan ahli dalam bidang ini.

Sepeninggallan Xavier, Zeva ketakutan setengah mati. Dia memohon-mohon pada dokter yang merawatnya agar diizinkan pulang. Bersyukur setelah lebih satu jam meminta akhirnya dia bisa keluar dari rumah sakit setelah menanda tangani surat yang menyatakan jika terjadi sesuatu padanya, rumah sakit tak akan bertanggung jawab.

Tak masalah bagi Zeva, karena sekarang juga dia akan pergi dari kota ini.

Xavier memang memaksa menggugurkan kandungan ini, tapi mana sudi dia menurut. Xavier hanya bos dalam hidupnya, tidak lebih.
Lagi pula dia lebih memilih meninggalkan kenyamanan di kota ini dari pada harus melenyapkan satu nyawa.

Menenangkan detak jantung, Zeva melangkah dengan sembunyi-sembunyi. Dia menaiki undakan tanggah apartemen, andai tidak tinggal di sini, risiko bertemu Xavier akan semakin menipis.

"Itu Zeva bukan sih?"

Suara dari arah belakang membuat Zeva bergegas bersembunyi di balik tembok. Dia menyentuh jantungnya yang berdebar.

"Kayaknya. Kok berani ya dia ke sini lagi. Bukanya sudah keluar ya?"

"Gak tahu, mungkin ada barang yang mau di ambil. Sayang ya, kerjaanyakan bagus. Pak Xavier juga terlihat senang bekerja dengannya."

"Sangat. Tapi mau bagaimana lagi, ini juga salahnya. Mungkin dia malu ketahuan hamil"

"Sebenarnya info itu datangnya dari mana sih?"

"Nana, kamu tahu kan dia teman satu unit Zeva. Saat kembali dari jalan-jalan dia mendapati apartemen yang berantakan dan ada empat alat tes kehamilan di kamar mandi Zeva. Semuanya positif."

"Yang di IG stori Nana itu ya."

"Iya. Kasihan Zeva, memiliki teman sekamar seperti Nana."

"Nana kan memang dari dulu cemburu sama Zeva. Awas ya kalau kamu kayak gitu sama aku."

Xavier & Zeva Where stories live. Discover now