Elegi di Bawah Langit Hitam

951 160 34
                                    

a/n:
Warning! Maap kalo membosankan wkwkwk

***

Adalah kamu satu-satunya objekku.
Membuatku mengeja sebuah bahasa dengan ruang rasa yang mampu membawa terbang.
Sayapku terpatahkan, oleh lisan yang tak biasa.
Genggaman menjadi usang, elegi yang bertandang.

***

Sepanjang dirinya menjalani hidup dua puluh tiga tahun lamanya, Singto tidak pernah sekikuk ini untuk menghadapi sebuah pertanyaan. Ini tidak mudah baginya. Lebih sulit dari interview kerja yang pernah dialaminya atau pertanyaan sang ayah ketika dirinya ijin kuliah di Indonesia. Cukup memutar otak mencari kata-kata yang pas.

Sesungguhnya, Singto sangat tertarik sama Krist. Tujuan Singto adalah memperkenalkan dunianya kepada Krist. Tapi dia menyembunyikan ucapannya di lidah, menurutnya itu sedikit gamblang. Singto menganggap dirinya pecundang detik itu juga, takut penolakan, takut Krist pergi lagi meninggalkan dirinya yang hampa dan menerka penuh nestapa. Membuatnya terbawa perasaan hingga harinya tak seseru biasanya.

Singto yang bungkam dengan lempar senyum lembut dan uluran tangannya, mengharuskan Krist untuk menerka saat menerima uluran tangan itu. Krist benar-benar menatap dua bola mata Singto penuh penasaran. Singto semakin gemetar hatinya, bingung cara mengungkapkannya pada Krist.

"Mengajakmu bermain, adalah tujuanku," ucap Singto pada akhirnya. Krist menaikkan sebelah alisnya menunggu penjelasan. "Seperti bocah. Kenalan, menjadi teman, dan berbagi kelereng. Itu seru banget. Aku pengennya gitu sama kamu."

Menjadi angkuh, Krist sedikit mengangkat kepalanya; cuma candaan semata, Singto tau itu. Tatapannya beralih menyelidik, mengitari raut wajah Singto yang mecoba santai diantara kikuknya suasana. Krist ingin tertawa sebenarnya, tapi dia lebih memilih menikmati ekspresi Singto.

"Baiklah, kita lihat kelereng seperti apa yang kamu punya," balas Krist mulai mengeratkan tangannya pada genggaman tangan Singto.

Sedang Singto tersenyum. Rasanya lega. Ini artinya Krist ingin berbagi kelereng dengannya. Dan ia sudah bersiap untuk itu tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Akankah egosentrisnya mulai bertandang?

.

.

.

Di bawah langit gelap dengan jalanan yang masih tampak basah, Singto dan Krist berjalan beriringan. Berduanya saling menautkan tangan, mengombang-ambingkan dengan ringan dan kaki menelusuri trotoar bersamaan. Bunyi klakson lalu lalang yang membisingkan tak menulikan Singto. Pendengarannya sangat hebat untuk menangkap segala kata yang terucap dari bibir tipis Krist.

Sentuhan, candaan, pandangan, semua terasa nikmat saat itu juga. Singto tidak ingin berakhir dengan cepat. Rasanya, dunia mereka sudah melebur jadi satu. Saling menafsirkan lelaku dan rasa yang tersampaikan. Semua obrolan seru, gurau selalu memekak mengiringi tak membuat mereka jenuh. Krist dan Singto sangat menikmati jejak mereka sendiri. Entah apa yang menjadi lucu, semua hal jika itu bersama Krist akan terasa menarik jadinya. Tingkah konyol Singto yang membuat Krist tergelak dan membuat Singto hilang sarafnya.

"Eh, ada yang jualan sempol ayam, kamu mau enggak?" pekik Singto begitu hebohnya saat melihat seorang penjual sempol ayam.

"Tapi kayaknya disana ada yang jualan sate telur gulung, deh?" tunjuk Krist kearah lain, seorang penjual sate telur gulung.

**Sempol ayam, jajanan pinggir jalan khas Malang. Bahannya dari daging ayam yang digiling. Tapi kayaknya sekarang dimana-mana banyak deh wkwkwk

Fana Merah Jambu [Singto X Krist - Completed]Where stories live. Discover now