15. Keputusan Terakhir

18.8K 1.7K 53
                                    

Sore ini langit berwarna kelabu. Seharusnya ini sudah memasuki musim kemarau, namun langit sepertinya sudah tak mau terikat pada batasan-batasan musim. Aku sangat berharap bisa melihat warna kemerah-merahan di ufuk barat, tapi hell yeah, itu sesuatu yang tak mungkin.

Awan berarak dari utara, memenuhi penjuru langit dan menyisakan angin yang berhembus dingin. kurapatkan jaket, duduk di atap apartemen bukan ide yang bagus. Kuhela napas dengan panjang. Sejak dulu, menunggu memang jadi hal yang paling membosankan. Sayangnya, aku tak bisa berbuat lebih kecuali mengikuti kemauan Sandra. Gadis itu berjanji akan menemuiku di atap apartemen Gading Mas. Jadi, ketimbang membuat diriku mati penasaran karena alasan Sandra yang aneh, aku memutuskan untuk mengikuti kehendaknya.

Mari mundur selangkah untuk berlari sejauh yang kubisa. Wow, sepertinya kalimat itu tepat untuk menggambarkan kondisiku.

"Hm, ini kabar yang sangat menyenangkan...," seorang wanita, aku menoleh. Melihat matanya saja, kebencian langsung menyentak memenuhi dadaku. Jantungku sudah mendetakkan namanya berkali-kali sebagai peringatan. "Siapa yang kautunggu? Sandra?"

Mariaaa, kapan kau tidak menyebalkan?

"Apa kau pikir, aku di sini menunggu ibuku? Adik kandungmu dan dengan keji kau membunuhnya?" aku sinis, kulihat bibir Maria bergerak dan membentuk satu garis lurus.

Ia mengedip, meremehkan. "Aku tak membunuhnya, dia saja lemah."

Aku nyaris mendengus kasar dan hendak menghampirnya untuk menampar mulut lancang Maria karena sudah menghina ibuku. apa kata dia? Lemah? Meski sudah menjadi orang yang tersakiti, ibu tetap bertahan dan dia menyayangiku. Apa itu definisi lemah?

"Ilana yang malang...," Maria mengejek. Di mana sih Tuhan meletakkan hatinya?

"Maria yang menyedihkan," ejekku tak mau kalah. Hei, aku tak mungkin diam saja mendengarnya menghina ibuku. Aku tak terima. Jelas. Anak mana yang rela mendengar ibunya dicemooh di depan matanya? Tidak ada. Seburuk apapun kondisi ibuku, dia tetap yang terbaik. "Jika Ibuku begitu menyayangiku, memberiku kebahagiaan semampunya dan mengusahakan yang terbaik untukku. Lantas, apa yang diberikan Maria pada anaknya? Mandala... bahkan ditembak oleh ibu kandungnya? Ya ampuun," aku tersenyum mengejek. Tangan Maria terkepal. "Apa yang seperti itu masih pantas dipanggil ibu?"

"Aku tidak menembak Mandala! Aku mau menembakmu!" dia mengeluarkan pistol dari tas kemudian membuang tas Guccinya yang mewah itu ke lantai. Darahku terkesiap, alarm bahaya berdengung. "Dia malah menghalangiku dan... kupikir..., ini adalah saat yang tepat untuk membunuhmu. Iya kan?" Maria psycho! Dia benar-benar tidak waras.

Aku melompat hendak membuang pistol itu dari tangan Maria. Dia terlalu cekatan. Tangan kanannya memukul leherku, membuatku mengerang. Dan ketika aku menguasai diri, ujung pistol Maria sudah tepat di keningku. "Kau mau berdoa sebelum peluruku menembus kepalamu?"

"Oh, aku sangat takuut...," suaraku penuh penghinaan. Aku tak pernah tahu darimana keberanianku berasal. Hanya saja, melihat wajah kesal Maria itu bisa membuat keadaanku membaik.

Maria menarik pelatuknya dan tersenyum, "kau mau berpesan pada ayahmu atau Antara?"

Tiba-tiba aku merasa bodoh karena tak mengatakan apapun pada ayah atau Antara. Kecerobohanku terulang. "Tidak," aku mengedip. Maria mengerutkan kening. Tahu bahwa sekarang dia lengah, aku menendang betisnya dan memukul pergelangan tangannya. Ia menjerit dan pistolnya terlempar di lantai.

"Kau...," ia hendak memakiku sebelum akhirnya tanganku mendorong dadanya. Tubuhnya yang cukup tua itu menabrak dinding pembatas atap. Ia melirik ke bawah. Tepatnya melihat jalanan yang berada jaauuuh di bawah sana. Tiba-tiba, perasaan ngeri menjalari hatiku. Aku tak tahu apa itu, hanya saja... aura negative, mencekam dan bayangan kelam sebuah kematian bisa terlihat nyata. Aaah, jangan berpikiran negative, aku memarahi diriku.

JinggaWhere stories live. Discover now