Tangisan Malam Di Seperempat Malam

11 2 0
                                    

Jika seandainya, pada seperempat malam seorang wanita tidak berteriak. Mungkin pacar sahabatku tidak akan pergi tanpa kabar. Seperti angin yang tak pernah tampak wujudnya, namun lekas aku merasakannya disekitarku. Hanya ada namanya, wujudnya tak lagi aku lihat utuh walau hanya sekedar gigi tonggosnya. Rumahnya ramai, kakak perempuannya baru saja menikah. Dengan lelaki beda kampung. Tapi dia tidak ada disana. Mungkin bunuh diri. Setelah naksir pada kembang desa.

***

            Aku berani menampar, jika seandainya seseorang berkata tentang masa taman kanak-kanak yang menyenangkan. Tepai pipi kirinya akan merah dengan tangan kananku yang sudah menanparnya, setelah ia menutup pembicaraannya.

            “Jaga mulut kotormu!” Mataku melotot merah. Kerah bajunya lusuh, saat aku meremasnya setelah usaiku tampar.

            Tepat didepan mukanya, jarak lima sentimeter dari ujung hidung pesek orang itu. Aku berkata kasar. Hewan berkaki mepat dengan liur ludahnya yang tak pernah ditarik masuk kedalam mulutnya, keluar dari mulutku.

            Masa taman kanak-kanak itu, bak masa pra-sejarah. Dimana aku sama sekali tidak tahu seperti apa zaman itu. Masa itu begitu gelap. Jika aku hanya melihat sebagian dari sandiwara sejarah lewat pelajaran dikelas. Aku juga hany ingat sebagian dari masa laluku.

            Ditaman kanak-kanak, kawanku sebentar lagi akan lompat dari lantai dua. Matanya berair, sesungguhnya seperti kesal dengan pelajaran atau kesal lantaran dibully. Untung wanita yang kami panggil Ibu guru, cepat berlari mengejarnya. Taman kanak-kanakku memang tak diawaasi oleh wali murid. Mereka sibuk kerja atau kami dipanggil anak mama.

            Taman kanak-kanak, gigi tupai kawan sekelasku patah pada permainan petak umpet. Dia kalah suit, dan dia yang jaga petak. Aku yang mengumpet. Lari dia, kawanku keluar dari tempat umpetnya. Kaku kirinya membuat yang kanan keserimpet. Jatuh. Giginya mendarat lebih dahulu dari badannya, habislah. Mungkin dia sekarang tidak lagi punya gigi tupai. Mungkin tikus atau apalah.

            Pada masa yang sama, kau juga kesal. Setiap istirahat jam sembilan. Diujung anak tangga dibawah sana. Aku selalu menanti 25 agar-agar buatan mama Syita. Syita itu perempuan, tidak ada kata anak mama bagi mereka untuk ditemani mamanya. Aku dianggap piatu bila tidak ditemani mamanya, sekecil-kecilnya ia datang dengan mama atau papa ke sekolah.

            Es lilin agar-agarnya mama Syita, tidak pernah tepat waktu. Tidak ada jadwal. Sekarang strawberry, besokya melon atau dalam dua hari tidak sama sekali.

            “Mama Syita, agar-agarnya ada?”

“Aduh, iya. Mama Syita semalam masuk angin, habis dari kota. Jadi mama Syita gak sempat bikin.” Mama-mama berkecamata itu melembut padaku yang sedikit gengsi dihadapan wali murid perempuan yang membuat kelompok sosial sendiri-sendiri.

            “Kalau besok?” Aku terus memastikan.

            “Insya Allah, deh. Kamu minta rasa apa?” Merayu.

            “Apa saja yang penting ada.” Anak kecil yang malu-malu gaya persis seperti aku waktu itu.

            Aku balik kanan dan lari manja menaiki anak tangga. Kelasku diatas. Aku berani mengakui, agar-agar yang dibuat mama Syita itu enak sekali. Tak seenak buatan mama dirumah. Karena itu, aku sering kecewa kalau tidak ada.

            Itu tadi, mama berkaca mata itu mamanya Syita. Kalau papanya Syita itu teknisi mesin, aku tahu karena ayahku satu jurusam dengan papanya Syita waktu zaman STM dulu.

            Bunga desa kampungku. Kelasnya berseberangan. Rumahku juga bersebrangan dengan rumahnya. Mungkin jarak lima atap rumah. Masa kecilku belum bersahabat dengannya. Ia terlalu cantik untuk aku jadikan kawan. Terlalu jauh diatasku. Terlalu tua sebulan dariku. Terlalu senior bagiku.

            Dia memasuki tahun keduanya ditaman kanak-kanak terbaik dari tiga kampung di kecamatanku. Masuk dari PAUD sampai taman kanak-kanak. Faktornya mungkin diusia dininya, ia sudah mahir membaca, menulis, dan beritung. Beda dengan aku, dari anak guru matematika. Namun hitunganku lemah.

            Karena Ibu guru, ia memilih waktu empat tahun untuk mendidik dinimah. Ayahku yang teknisi mesin., turun pada adikku.

            Rumah memang dekat. Tapi kami hanya berstatus teman. Tak lebih.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 22, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tangisan Wanita Di Seperempat MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang