• 1 •

1.2K 208 77
                                    

.
.

He is both;
Hellfire and holy water.
Yes, He is madness, in a pretty package.

.
.

Entahlah. Dia bahkan tidak paham dengan apa yang sedang ia kerjakan saat ini. Naasnya, kegiatan ini seperti sudah menjadi kegemarannya selama satu bulan belakangan.

Ia sedang mengintip dari balik jendela kamarnya yang berseberangan dengan balkon kamar orang lain, tetangganya.

Tetangganya itu sesungguhnya hanyalah seorang pria muda pendiam biasa yang mempunyai hobi melukis di balkonnya yang memang sangat lebar. Tubuhnya tinggi, kakinya pun panjang. Matanya sipit, namun memiliki bentuk yang sangat indah. Dan perlukah ia menambahkan jika dada pria itu sangatlah bidang dan mempesona?

Terkadang ia berpikir jika mungkin dirinya ini sedikit gila. Pasalnya, lelaki itu baru saja pindah di sebelah rumahnya dan mereka berdua bahkan belum pernah saling mengobrol dengan benar. Lantas bagaimana ia bisa merasakan ketertarikan semacam ini?

Setiap senja pada hari minggu, pria tersebut akan duduk disana dan bergelut dengan kanvas, palet, dan beberapa benda lain yang biasanya di gunakan untuk melukis. Meskipun jarak antara jendela kamarnya dan balkon sang pria terhitung lumayan jauh, namun sejujurnya ia sempat khawatir apabila dirinya akan ketahuan jika terus menerus melakukan hal ini.

Dan selama satu bulan pula, ia masih saja terus berkecimpung di dalam kegemaran barunya yang aneh. Dia sendiri bahkan tidak tahu, apa yang telah membuatnya sangat tertarik dengan pria itu.

Tubuhnya, kah?
Kemampuan melukisnya, kah?
Wajah tampannya, kah?
Entahlah. Ia sendiri bahkan tidak tahu.

Selama satu bulan penuh, yang terdiri dari empat minggu, ia menekuni kegiatannya mengintip aktivitas melukis si pria. Memang bukan waktu yang lama, namun selama itu pula, rasa penasarannya terhadap pria itu semakin menjadi-jadi.

Ia menyibak sedikit tirai tebal yang menutupi jendela kamarnya. Perlahan, ia mencoba beringsut sedikit agar bisa memperoleh sudut pandang yang lebih baik.

Si pria di seberang sana mulai mempertemukan ujung kuas lukisnya dengan kain kanvas tersebut. Ia membuat garis-garis melintang berbentuk abstrak yang sama sekali tak mampu ia mengerti.

Selalu begitu. Sang pria tampan tidak pernah melukis gambaran sesuatu yang nyata. Bukan lukisan seseorang, tumbuhan atau pun pemandangan senja. Dan satu hal yang ia sadari, pria itu hanya menggunakan satu warna saja di dalam palet cat airnya.

Ya, warna merah.
Merah darah.

***

"Seokjinnie, apa yang sedang kau buat, sayang?" tanya seorang wanita paruh baya yang baru saja memasuki dapur besar di dalam rumah itu.

Seokjin, anak lelakinya itu menoleh lalu tersenyum kecil padanya, "Ah, aku tadi memanggang cookies cokelat, bu." jawabnya sembari mengangkat kue-kue kering buatannya.

Sang ibu mengernyit, "Kenapa banyak sekali, nak? Kue-kue ini bahkan cukup untuk menjadi cemilanmu selama beberapa minggu." balas sang ibu heran, menatap puluhan kue yang sedang di susun rapi oleh anaknya ke dalam sebuah toples kaca.

Seokjin tersenyum lagi, "Tidak semuanya akan ku makan sendirian, bu. Aku ingin membagikannya ke tetangga sebelah kita. Ibu tahu, yang baru pindah satu bulan yang lalu itu." ucapnya seraya memasukkan beberapa buah cookies ke dalam boks berukuran sedang yang nampak mewah.

Dark Side - NamJin Where stories live. Discover now