20 Juni 2018

16 1 0
                                    

Bismillah,

Ini salah satu kisah yang paling mengena untuk saya. Bertempat di markas PMI Kabupaten Sleman,

Ketiga kalinya saya naik ambulance, dapat panggilan 33 dengan 4 crew termasuk driver.. di suatu ketika di hari PAM H+4.

Dari kasus ini muncul banyak sekali pertanyaan dalam diri saya, apakah yang saya lakukan sudah benar? apakah ada kesalahan dalam saya menangani? Apa ada yang terlewat? Apa yang saya lakukan membuat korban betambah parah? 

Semua pertanyaan ini yang membuktikan bahwa saya masih belum apa-apa, masih tergolong awam di antara teman-teman KSR lain. Saya harus banyak belajar teori, praktik, maupun menangani kejadian secara langsung, dengan berbagai macam kasus maka saya akan berkembang.

***

Kejadian bermula dari saya sebagai koordinator dari KSR PMi Unit UNY yang harus berjaga di hari terakhir PAM. Di dalam pos jaga hanya ada saya dan di depan ada mas Shobirin. Selain itu markas tergolong sepi. 

Saya kala itu berposisi antara siap dan tidak. Menggunakan rok yang favorit tetapi selalu sedia celana rok kapanpun dieprlukan. Benar saja, kali itu tiba-tiba telepon berdering, dan sebagai pemula, saya selalu waswas dan takut menerima telepon, langsung terpikir hal-hal buruk. Maka telepon diangkat mas Shobirin. Dan kala itu mendapat gelagat adanya korban, saya langsung mengganti rok yang saya pakai menjadi celana rok untuk lapangan.

Bersiap secepat kilat, ambulance bersirine telah menembus jalan. Dengan bantuan pak polisi, mendapat akses khusus melewati salah satu perempatan di Jl. Magelang. Berhenti tepat pada suatu tikungan, kecelakaan tunggal. Diduga korban berkecepatan tinggi dan tidak bisa menghandle motornya sendiri kemudian menabrak trotoar kiri jalan kemudian jatuh dan mungkin terseret karena yang bersangkutan tidak menggunakan helm..

***

Di TKP mas yang bernama siapa saya sudah lupa bergelung kesakitan, dengan posisi sudah tidak mengenakan helm (entah tadinya memakai atau tidak), kepala bagian kiri kotor tertempel pasir. Tangan kiri bagian bawah tidak berbentuk normal, ada frakture (patah tulang). Tidak terlihat pendarahan lain kecuali bekas daah yang terlihat tadinya keluar dari hidung. Korban sadar, meracau kesakitan.

Penanganan untuk patah tulang yang ada adalah mas Ipung membuat bidai dari kardus kemudian diselipkan di bawah tangan korban kemudian diikat, atau lebih tepatnya saat itu adalah di lakban menggunakan lakban hitam. 

Korban dipindahkan ke tandu dan tepat saat itu ambulance dai dinas kesehatan (kalau tidak salah) kabupaten Sleman datang, tapi tetap dimasukkan ke dalam ambulance PMI Sleman, sepertinya tentu karena kami yang melakukan pertolongan pertama dan mengetahui apa saja yang telah dilakukan pada korban, sehingga nantinya apa yang akan.

Ketika kami semua sudah di dalam, petugas dari ambulance lain tersebut menyarankan untuk korabn diberi O2 (oksigen tabung).

Di tengah jalan kami yang bersama korban di belakang, atau lebih tepatnya saya dan mas Shobi, memberi O2 kepada korban. Tapi entah bagaimana saya membukanya tabung terlihat mau habis, angka menunjukkan sudah mepet bawah, bola untuk mengukur tekanan udara yang keluar juga tidk ada, sehingga O2 yang diberikan seadanya, sekira-kira tekanannya.

Di jalan, korban meracau kesakitan, memanggil "Rama, rama.. (Bapak, bapak...)"

Pula mengatakan -endasku (kepala) ilang ora iki, -tanganku, serta mengeluhkan dada kiri yang sakit.

Korban yang mengatakan dada kirinya sakit ini membuat kami atau saya pribadi merasa khawatir. Karena itu saya meminta mas Shobirin yag daritadi memegang tangan kiri korban yang patah untuk bergantian saya pegang, supaya mas SHobirin bisa mengecek dada korban. Untuk itu, saya bermanuver tempat. Yang tadinya berada di sisi kepala korban, melewati belkang mas Shob, berpindah ke bagian kakim korban.

Kisah Kasih Menjadi KSRWhere stories live. Discover now