20. Semangat Baru

6.2K 848 60
                                    

20. Semangat Baru

"Semua yang terjadi di dunia ini, terjadi atas kehendak Allah, jadi tak usah menyalahkan diri sendiri, tapi ambilah pelajaran darinya dan teruslah melakukan perbaikan."

***

Takut?

Reila sontak mengernyit mendengar Reihan menjawab, karena ia takut.

Reila tampaknya masih bingung, kalau Reihan merasa takut, seharusnya Reihan cepat berlari, bukan malah diam saja.

"Justru itu, kalau kamu takut, harusnya kamu langsung lari."

Reihan menunduk, selama ini tidak ada yang tahu kalau ia mengalami trauma berat. Reihan sengaja menutupi cerita ini dari siapapun, karena ia tidak mau semakin banyak orang yang menyalahkannya atas kematian sang Ayah. Reihan tak sanggup mendengarnya.

Kini, mungkin Reila akan menjadi orang pertama yang mengetahuinya, Reihan  tampaknya tak mampu, jika terus-menerus memendam semua ini sendiri. Sejujurnya ia membutuhkan seseorang untuk berbagi, seseorang yang mengatakan kalau kematian ayahnya bukanlah salahnya.

Akankah ia menemukan orang itu?

Reihan tak yakin, dia pesimis, karena ibunya sendiri sudah mengecap ia sebagai pembunuh ayahnya, apalagi orang lain?

Reihan  menarik napasnya pelan, kemudian menghembuskannya perlahan.

"Bukan itu yang gue takut, La." Reihan menyanggah, hanya kalimat itu yang baru bisa ia katakan pada Reila, kemudian ia kembali menghela napasnya panjang. "Gue takut lihat mobil truk, sangking takutnya gue nggak bisa gerak, gue kayak yang pasrah mati gitu aja."

"Astaghfirullah.." Reila terkaget. "Rei, bunuh diri itu dosa." Reila tampaknya masih belum paham maksud Reihan.

Reihan masih saja menunduk. "Gue bukan mau bunuh diri, gue trauma lihat truk, karena bokap gue meninggal ditabrak truk, di depan mata gue."

Reila membelalakkan matanya, ia semakin kaget. Namun, tampak bingung mau berkata apa. Kenapa Reihan menceritakan kisahnya yang mengenaskan padanya?

Reihan terus menunduk, dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, membuat Reila semakin bingung. Reila tidak pernah mendapat curhatan dari laki-laki, karena memang dia tidak pernah bergaul dekat dengan laki-laki, karena itu Reila bingung harus bagaimana, akhirnya dia malah memilih diam saja. Berharap Reihan tak meneruskan ceritanya. Karena Reila tak tega, khawatir malah membuat Reihan semakin sedih, atau menyinggung perasaan Reihan, di kala ia sedang berduka.

“Waktu itu gue masih kecil,” ujar Reihan, ia mulai mendongakkan kepalanya dan menatap ke dapan, tersirat rasa kesedihan dalam raut wajahnya, meski ia dikelilingi oleh anak-anak kecil yang tengah bergembira. “Hujan turun sangat deras, gue maksa minta dibeliin sepeda sama bokap gue. Konyol kan.” Reihan mengambil jeda. Reila tak bisa berbuat apa-apa selain mendengarkan.

“Gue bego, bokap gue udah nyuruh gue diam di mobil, jangan kemana-mana. Tapi, bodohnya gue malah nggak nurut. Gue ke luar dari mobil, hujan-hujanan bikin bokap gue khawatir dan panik." Reihan menghentikan perkataannya sejenak, mengambil napasnya  pelan-pelan dan menghembuskannya perlahan. "Hingga bokap gue lari-lari menghampiri gue tanpa lihat kondisi jalan yang ketika itu ada truk sedang melaju cepat. Bokap gue tertabrak truk, hingga badannya terlindas sama ban truk di depan mata gue, dan meninggal di tempat.”

Innalilahi.... Reila bergumam.

Untuk kesekian kalinya Reila membulatkan matanya selebar-lebarnya. Ia tak menyangka kalau Reihan yang ia kenal angkuh dan sombong ini, memiliki masa lalu yang sangat menyedihkan. Reila sendiri tak bisa membayangkan kalau ia yang berada di posisi Reihan saat itu, pasti hatinya sangat sakit.

Dear ClassmateWhere stories live. Discover now