Serpihan luka

5K 408 3
                                    

Gurat-gurat jingga mulai nampak di batas cakrawala, mengantar sang  surya kembali ke peraduannya. Ketika semua orang tampak menikmati keindahan senja yang memukau mata, Aaron justru terdiam menatap kosong lautan dihadapannya. Suara debur ombak  yang menenangkan, tak mampu menjamah jiwanya. 

Memorinya mengulang setiap hal yang terjadi. Ketika semua orang membandingkannya yang penuh keterbatasan dengan almarhum saudara kembarnya yang telah tiada. Ia akui, ia tak sejenius saudara kembarnya. Ia juga tak bisa dibanggakan layaknya Aaric. Namun, ia juga punya mimpi dan harapan yang ingin di wujudkan.

Aaron bahkan sudah mengubur dalam mimpinya untuk menjadi seorang pelukis hebat, demi memenuhi permintaan orang tuanya untuk menjadi seorang dokter. Ia bahkan tak diizinkan lagi untuk melukis atau sekadar menyimpan alat-alat lukisnya. Semua alat itu telah di musnahkan, sejak Aaric dinyatakan meninggal beberapa waktu lalu. Ia  layaknya  bayangan Aaric, yang harus bisa melakukan semua hal yang  kakaknya pernah lakukan.

Ingin ia berteriak pada dunia, bahwa ia bukanlah Aaric yang sempurna, ia penuh keterbatasan. Selamanya tak akan menjadi  seorang Aaric yang jenius.  Ia hanya ingin di anggap sebagai Aaron, bukan bayangan dari Aaric. Wajahnya memang serupa, karena keduanya terlahir kembar identik. Tapi, bukan berarti ia harus menjadi serupa layaknya Aaric dalam segala hal.

Aaron tersadar dari lamunannya, ketika sebuah bola tepat mengenai pundaknya. Ia menoleh, seorang anak kecil yang kira-kira berusia tiga tahun tampak takut-takut mendekatinya. Ia beranjak dan mengambil bola itu, kemudian memberikannya pada anak itu.

"Lain kali kalau main bola hati-hati ya! Ini bolanya" Aaron menyerahkan bola itu dengan senyum yang merekah.

"Maafkan putra saya, Mas. Sekali lagi saya minta maaf," ucap seorang pria yang menggandeng anak itu.

Aaron hanya mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban. Netranya terpaku pada anak kecil tadi, ketika seorang anak lain mendekati dengan wajah yang serupa. Ia tersenyum saat  membayangkan kebersamaannya bersama Aaric, dulu. Ia rindu saudara kembarnya, sangat rindu. Meskipun Aaric selalu mendapat perhatian lebih, tapi ia sama sekali tak pernah membenci sang kakak. Ia sangat menyayangi kakaknya.

Kakinya melangkah menyambut gulungan ombak di tepi pantai, menghapus jejak langkahnya dengan sempurna. Ingin ia berlari lebih jauh, menyambut gulungan ombak yang lebih besar. Agar bukan hanya jejaknya yang menghilang, namun juga dirinya.

Bukankah ia tak pernah diinginkan kehadirannya? Satu kata yang terucap dari lisan sang Bunda yang membuatnya tak pernah bisa lupa.

"Seharusnya kamu yang mati, bukan Aaric. Kamu hanya anak yang tak berguna dan tidak bisa di banggakan layaknya Aaric,"

Ia ingat  dengan jelas, tatapan tajam serta suara tegas milik Flora. Ia tak lagi mampu bersuara, karena rasa sesak  tiba-tiba menghimpit dadanya. Ia hanya tersenyum, senyum yang begitu tulus. Sebelum akhirnya memilih pergi dan berlalu, ia tak sanggup mendengar kalimat demi kalimat menyakitkan lain yang terucap dari lisan Ibunya.

Aaron memutuskan untuk kembali ke rumah, karena senja bahkan telah berganti malam. Hawa dingin mulai menembus kulitnya yang hanya berbalut kaos pendek. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan standar, karena jalanan yang mulai terlihat padat oleh kendaraan. Satu jam kemudian, mobilnya sudah terparkir rapi di garasi rumah.

Kakinya baru saja melangkah di ruang utama, ketika  suara Ayahnya menyapa.

"Dari mana, kamu? Seharusnya kamu itu belajar bukan hanya kelayapan tidak jelas di luar sana," tegas  Arsyad.

Aaron hanya diam, karena ia tahu diam adalah pilihan yang terbaik. Ia tak ingin terpancing emosi, dan ucapannya justru akan menyakiti hati Ayahnya.

"Kamu itu tidak seperti Aaric, yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar daripada kelayapan. Makanya dia bisa menjadi putra kebanggaan Ayah dan Bunda. Tidak seperti kamu yang hanya bisa menyusahkan dan merepotkan setiap waktu," ucap Arsyad pelan tapi menusuk.

Aaron hanya terpaku mendengar  pernyataan Ayahnya. Hatinya hancur berkeping-keping, dan tak akan kembali utuh seperti semula. Ia tahu, selama ini lebih banyak merepotkan daripada membuat senang. Jika boleh memilih, ia juga tak mau seperti ini. Tapi ia tak punya hak untuk memilih takdir hidupnya, bukan? 

"Yah, apa Aaron gak pantas dapat kasih sayang kalian? Aku juga ingin diperlakukan sama seperti Kak Aaric, selama ini kalian selalu mengelu-elukan dia tanpa peduli gimana perasaan Aaron, " ucap Aaron kemudian berlalu pergi.

Ia akui, lebih banyak  memiliki keterbatasan daripada kemampuan. Namun tak bisakah, ia dihargai dan disayangi layaknya anak-anak lainnya? 

Jika kehadirannya tak pernah diinginkan, kenapa bukan ia saja yang mati dalam kecelakaan itu? Agar tak ada lagi luka yang harus ia terima.

Vulnere ✔Where stories live. Discover now