Prolog

11.4K 554 38
                                    

Sebuah lantunan surah Ar-Rahman terdengar menggema, mengisi setiap jengkal kesunyian di sebuah masjid sore itu. Masjid yang dipenuhi oleh para remaja berseragam putih-putih yang saat ini tengah mengadakan kegiatan tadabbur Al-Qur’an. Dan di depan sana, tampak seorang pria berparas teduh dengan suara sedamai air danau tanpa riak. Suara yang mampu menentramkan setiap hati yang mendengarnya.

Hingga ayat terakhir dilantunkan, lalu kini berganti keheningan yang menjadi atmosfir di ruangan suci pondok pesantren bernama Nurul Qur’an itu. Beberapa santri ada yang terlihat mengusap air mata karena tanpa ada yang menyadari bila bulir bening dari sudut mata mereka telah mengalir sejak tadi, saking indahnya bacaan si pria.

“Baik. Pembahasan kita kali ini adalah surah Ar-Rahman, salah satu surah istimewa dalam Al-Qur’an karena surah ini menjadi bukti bagaimana kelembutan Allah dalam menegur hamba-hamba-Nya. Dan keistimewaan itu terdapat pada satu ayat yang disebutkan sampai sebanyak tiga puluh satu kali. Fabiayyi ala irabbikuma tukhaddziban, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan. Ada yang tahu kenapa?”

 Salah seorang santri yang berada di barisan depan memberanikan diri mengangkat tangannya. “Afwan, Ustadz. Izin menjawab.”

“Silakan.”

“Karena ayat itu sebagai perintah dari Allah kepada hamba-hamba-Nya untuk senantiasa bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan-Nya.”

Sang ustadz tersenyum sesaat. “Tepat sekali. Sedikit tambahan, berbeda dari kebanyakan ayat lainnya yang hanya ditujukan kepada manusia, ayat ini ditujukan kepada manusia dan juga jin. Sebagaimana di dalamnya menggunakan kalimat rabbikuma, yang artinya kamu berdua. Jadi, pengulangan ayat yang sampai tiga puluh satu kali ini dimaksudkan agar manusia dan jin senantiasa ingat untuk bersyukur kepada Allah dan tidak kufur terhadap nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan-Nya. Nikmat yang di mana menjadi tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan-Nya.”

Sebagian santri terlihat ada yang mencatat di buku, ada yang hanya mengangguk-angguk saja, ada juga beberapa santri perempuan yang malah sibuk berbisik-bisik entah membicarakan apa, hingga harus ditegur para santri senior yang berjaga di belakang.

“Maka, setiap nikmat Allah yang disebutkan di dalam surah Ar-Rahman selalu diiringi dengan kalimat fabiayyi ala irabbikuma tukhaddziban. Hal ini sebagai bentuk penegasan, penekanan, peringatan, serta pemantapan pemahaman ayat.”

Untuk ke sekian kalinya, bibir ini tidak bisa untuk tidak mengukir senyum. Bagaimana suara indahnya ketika tilawah serta penjelasan lugasnya, membuat kadar rasa kagum itu semakin bertambah di setiap detiknya pada sang pria.

Hanafi Malikal Hakim.

Nama pria itu. Nama yang indah untuk sosok yang indah. Sosok rendah hati namun berwibawa. Sosok sederhana namun selalu terlihat memesona.

Hah ... Hanafi, pria rupawan dengan senyum menawan yang selalu sempurna di matanya. Pria yang sudah bertahun-tahun ini, membuat dia harus memendam perasaan itu.

Ya, dia mencintainya dalam diam. Dia sendiri tidak tahu semuanya akan sampai kapan. Namun yang pasti, dia selalu berharap semoga penantiannya ini akan berakhir dengan indah.

“Ustadzah Syafira.”

Syafira, wanita yang tengah berjalan di koridor itu menoleh dan mendapati salah seorang santriwati menghampirinya. Kegiatan tadabbur Al-Qur’an sudah berakhir tiga puluh menit yang lalu, dan sekarang dia hendak pulang.

Afwan, ana boleh minta tolong sama, Ustazah?”

“Minta tolong apa?”

Sambil sedikit malu-malu, santriwati itu menyerahkan sebuah amplop berwarna biru yang Syafira yakini isinya pasti surat. “Untuk Ustadz Hanafi. Kalau begitu ana permisi lagi. Syukran, Ustadzah. Assalamualaikum.

Wanita itu hanya geleng-geleng kepala memandangi kepergian muridnya itu. Hal ini sudah biasa baginya. Bagaimana dia yang harus menjadi perantara surat cinta para santriwati yang ditujukan pada ustadz muda yang memang idola satu pesantren itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah sosok yang kini tengah berjalan ke arahnya.

Langkah Hanafi tertahan ketika Syafira menyerahkan surat santriwati tadi kepadanya. “Surat cinta ke 37.”

Seakan sudah paham, pria berkulit kuning langsat itu kemudian menerimanya dengan senyum maklum yang begitu teduh. “Sehafal itu, ya?”

“Yaiyalah, orang Sya yang selama ini jadi pos surat mereka. Belum lagi mereka suka tanya ini-itu soal Kak Hanafi. Berasa asisten Kak Hanafi tahu nggak lama-lama, yang harus menghadapi para fans-mu.”

Hanafi tertawa tipis. Terdengar menyejukkan.

“Ketawa lagi!”

“Lalu saya harus berbuat apa? Melarang mereka? Itu kan hak mereka. Lagipula daripada mereka surat-suratannya sama santriwan, kan? Ada hikmahnya juga ternyata kalau dipikir-pikir.”

“Iya. Tapi yang pusingnya Sya!”

Hanafi terkekeh ringan. “Ya udah, mungkin itu resiko kamu jadi temannya orang ganteng,” ujarnya bercanda.

“Idih, pedenya setinggi omongan pejabat.”

Hanafi yang sedikit iseng menepuk tanpa tenaga wajah Syafira dengan buku di tangannya. “Eh, ke rumah sebentar, yuk?”

“Ngapain?”

“Di suruh ibu.”

“Wokey!”

“Enggak mau bareng?”

Syafira yang baru mengambil langkah, berhenti lagi seraya mengatupkan kedua tangan di depan dada. “Afwan, Ustadz, bukan mahram.”

Hanafi tertawa lagi. Sudah tidak heran dengan tabiat wanita yang satu tahun lebih muda darinya itu. Begitulah Syafira, selalu berusaha untuk terlihat cuek di depan Hanafi yang padahal dadanya sedang berdebar bukan main.

___ToBeContinued___

Syahid Cinta [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang