Part 10 (End)

16.3K 797 90
                                    

Keela, dulu kamu sering berkata ... bahwa cinta akan hadir seiring waktu berjalan. Nampaknya benar, bahwa kini cintaku benar-benar seperti buih di lautan saat kamu mungkin akan hilang terbawa ombak. Dan justru di saat yang sama Allah mengujiku seberat ini. Kamu adalah milik-Nya, dan aku mencintaimu melebihi cintaku pada-Nya. Maka tak heran ujian datang sebesar ini.

Di sepanjang waktu bersama, meski kamu hanya terbujur lemah di atas ranjang dengan berbagai alat medis penunjang. Hari demi hari, aku masih di sini, menemanimu ... dan mendoakan. Harapan itu tak pernah pupus. Sungguh aku mencintaimu ... istriku.

Meratapi hasil tes CT Scan Shakeela yang memang jauh dari kata baik. Ia positif menderita meningitis bakteri. Di mana, bakteri tersebut telah menginfeksi selaput otaknya. Dari gambaran foto CT Scan pun, otak Keela telah rusak 30%.

"Pak Andre, meningitis itu bukan penyakit main-main. Terlebih kondisi Ibu Shakeela sudah drop seperti ini. Kalaupun sembuh, kondisinya tak mungkin seperti sediakala. Mungkin ia akan kehilangan penglihatannya, atau bahkan pendengarannya."

Kalimat dokter begitu terngiang-ngiang di benak. Ah, betapa aku yang tak pernah peka akan sakitnya selama ini. Tetes air mata tak henti membasahi wajah penuh dosa ini. Tubuhku limbung, jatuh bersandar pada dinding. Menutup wajah dan menahan isak.

Perih, tapi tetap tak sebanding dengan sakitmu selama ini, Keela.

"Ndre," sapa wanita yang menjadi cinta pertamaku, Ibu.

"Ibu." Tangan keriput itu kucium dengan takzim.

Seorang Ibu memang selalu mampu membaca isi hati anaknya, sekuat apa pun sang anak menyimpan kesakitan tersebut. Kedua pipiku kini berada dalam rengkuhan tangan Ibu. Beliau membawa kepalaku ke dalam rengkuhannya. Membelai kepalaku penuh kasih sayang.

"Maafin Andre, Bu. Maafin Andre ...."

"Untuk apa minta maaf sekarang, Ndre? Cukuplah kamu berdoa untuk kesembuhan istrimu."

"Sakitnya Shakeela terlalu mendadak, Bu. Ini beban berat untukku, di saat hati ini mulai dipenuhi cintanya." Aku masih terisak dalam rengkuhan Ibu. Ketakutan bila cinta ini memang terlambat begitu besar.

"Sakitnya nggak mendadak, Nak. Ibu yang tau. Bagaimana istrimu mati-matian menahannya. Ia tak ingin kamu mengasihaninya, ia ingin kamu tulus mencintainya, tanpa embel-embel takut kalau suatu waktu ajal akan menjemputnya."

"Maksud Ibu?"

Ibu menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Pelan, beliau bercerita, tentang apa yang tak pernah kuketahui selama ini tentang Shakeela.

"Saat itu, cuaca begitu terik. Ibu baru saja pulang dari pasar, dan menemukan Shakeela tengah berjongkok di pinggir trotoar. Saat itu ibu tanya, mengapa Andre tak menjemput, ia membelamu dengan mengatakan bahwa ia yang menolak dijemput. Padahal, saat itu Ibu tau bahwa kamu sedang pergi dengan Sonia."

"Bu—"

"Ndre, istrimu selalu menutupi kelakuan busukmu meski ia tau. Shakeela sudah sakit-sakitan sejak lama. Ini nggak dadakan, memang kamu yang kelewat nggak peduli. Kamu terlalu asyik dengan wanita simpananmu yang binal itu."

"Bu, cukup, Bu!" Suara Ibu yang sedikit meninggi begitu menyentil hati ini. Mendungnya langit tak sekelabu hati ini. Rasanya tak sanggup mendengar lagi kenyataan akan terucap lagi tentang Shakeela.

Aku melepaskan diri dari pelukan Ibu yang tengah duduk di kursi roda. Kemudian bersimpuh di mata kakinya. Memohon ridho padanya, agar Allah pun meridhoi segala langkah. Bukankah surga ada di telapak kakinya?

Ya ... seperti yang kuceritakan. Ibuku sendiri baru dua minggu yang lalu dioperasi sebab tumor yang bersarang di otaknya. Saat itu, Shakeela adalah sebaik-baiknya penjaga, di saat aku justru sibuk menyiapkan pernikahan kedua.

Bukan Istri PilihanWhere stories live. Discover now