part 1. why didn't I see this coming?

3 0 0
                                    

"She is leaving, and I can't do anything. Like a fool, I'm blankly standing there. If it's not too late, can't we back together? If you're struggling like I am, can't we make things a little easier? I should've treated you better when I had you"

playlist: Big Bang – If You

Nate mengumpat, bukan karena data pasien yang sedang dibacanya tapi karna sikap tololnya beberapa saat lalu. Dia tidak bisa menahan emosinya sendiri, di depan umum. Jika tidak ditahan oleh salah satu rekan kerjanya, dia pasti sudah berada di ruangan pamannya saat ini, mendengarkan rentetan kalimat berisi betapa pentingnya menjaga hubungan antar sesama dokter.

"Kau terlihat frustasi setelah beraksi bagai pahlawan pagi ini"

Suara itu mengejutkannya. Nate mendongak, mendapati seorang wanita dengan senyum geli.

"Aku melupakan betapa berpengaruhnya jabatan seseorang di rumah sakit ini" gerutu Nate, jelas masih kesal.

Wanita itu terkekeh, diam-diam mengagumi keberanian Nate. "Kau sama sekali tidak menyesali perbuatanmu"

"Tidak, tentu saja tidak" Nate menggeleng –pasti-, memperlihatkan betapa seriusnya ia akan kata-katanya. "Aku akan membunuhnya sekalipun dia dokter senior disini"

Nate menutup berkas pasien di tangannya, memberikan perhatian penuh pada wanita yang kini sudah duduk di sofa kecil dalam ruangannya. "Jadi, ada yang bisa kubantu?"

"Aku hanya ingin memberitaumu tentang reuni minggu ini"

"Reuni?" pertanyaan itu penuh dengan nada heran. "Bukankah angkatan kita baru mengadakan reuni bulan lalu?" Nate mengitari meja, duduk menyebrangi rekan kerjanya, masih dengan ekspresi keheranan.

"Kali ini, yang kumaksud adalah reuni SMA"

Kata-kata itu berhasil membuat Nate mematung. Tiba-tiba saja sebuah film terputar, dengan ia sebagai pemeran utama. Film ber-ending buruk yang sangat ingin diubahnya.

Nate menatap Kayla –teman sekaligus rekan kerjanya-, masih mencoba mencerna berita yang didengarnya. Jika reuni kali ini adalah reuni SMA, maka ada kesempatan dia untuk hadir. Dengan begitu, ada kesempatan bagi Nate untuk memperbaiki kesalahannya. Kesempatan mengubah ending film yang berputar dipikirannya.

"Apa dia–" Nate tidak melanjutkan pertanyaannya. Takut jawaban yang didapatnya tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Kayla mengerti apa yang ingin Nate dengar sebagai jawaban, tapi dia bahkan tak yakin."Aku tidak tau" ujar Kayla pelan, menangkap air wajah kecewa yang kentara pada Nate.

"Tapi bisa dipastikan, dia sudah berada di Indonesia" sambung Kayla, membuat Nate menatapnya dengan tatapan tidak percaya.

"Dia, dia di Indonesia?"

Kayla mengangguk, memberikan jawaban yang ia tau sudah ditunggu Nate selama lebih dari tujuh tahun belakangan ini. Tujuh tahun. Nate menunggu kesempatan ini selama tujuh tahun. Atau lebih jelasnya, Nate menunggunya selama tujuh tahun.

"Aku akan mengirim jadwal dan tempatnya padamu. Ada jadwal check up yang harus kutangani sesaat lagi" ujar Kayla seraya bangkit dari duduknya. Pandangannya jatuh pada Nate yang masih tidak mengeluarkan kata, pria itu sibuk dengan pikirannya.

"Nate?"

Nate mendongak, kembali pada kenyataan. Ia dengan cepat berdiri dan mengangguk. "Terima kasih"

~~

Terlalu banyak seandainya. Andai-andai yang diharapkan Nate terjadi. Seandainya saja, dia bisa memberikan kesempatan yang dibutuhkan Nate. Seandainya saja Nate bisa memperbaiki semuanya. Seandainya saja dia tidak pernah melakukan kesalahan. Seandainya saja dia melakukan apa yang harusnya dilakukan. Seandainya saja dia bukan pria brengsek yang hanya memikirkan diri sendiri. Seandainya dia tidak sebodoh itu untuk membiarkannya pergi.

Only YouWhere stories live. Discover now