25.

1K 86 18
                                    

Beberapa jam setelah bertemu Gi, Liam tidak beranjak dari kursinya di kafe yang ia tempati bersama Gi. Liam tampak lebih lesu dibandingkan dengan saat berangkat tadi. Harusnya ia merasa senang sudah bertemu Gi di kafe yang sama yang ia tempati sekarang dan mendengarkan celotehan gadis itu tanpa ragu, namun kali ini berbeda, ia tidak merasa senang. Mungkin karena Gi menceritakan akhir pekannya kemarin yang ia lewati bersama Harry, teman satu band Liam.

Memang tidak ada salahnya untuk menghabiskan waktu luang dengan salah satu kawannya, tapi Liam selalu sebal saat mendengar bagaimana Gi membeberkan seluruh detil ceritanya. Apa itu yang dinamakan cemburu? Kalau itu memang yang dinamakan cemburu, Liam tidak suka dirinya merasa cemburu.

Langkah Liam menuju mobilnya terhenti oleh dering ponselnya yang terdengar dari sakunya. Liam melirik layar ponsel. Niall?

"Halo?" suara Niall terdengar bersemangat.

"Yeah, ada apa Ni?" jawab Liam malas. Liam memang tidak sedang ingin bicara dengan siapapun karena suasana hatinya yang buruk.

"Di mana kau sekarang?"

"Aku sedang di Chelsea. Kau?"

"Di studio," jawab Niall. "Mau jalan-jalan tidak? Aku bosan sekali."

"Tidak, aku sedang tidak ingin jalan-jalan." ujar Liam dengan suara yang terdengar kesal.

"Kenapa? Tumben sekali."

Liam berkata, "Ya sudah ke rumahku saja, nanti aku ceritakan."

"Oke, aku berangkat nih." Lalu Niall memutus sambungan telepon itu dan Liam memasukkan ponselnya ke dalam saku lagi.

Liam masuk ke dalam mobil dan mobilnya melaju dengan kecepatan normal ke arah rumahnya. Ia memikirkan Gi, seperti hari-hari biasanya. Tapi kenapa saat ini yang ada hanya rasa kesal dan kepalanya terasa pusing?

Harry baik sekali, suara Gi terlintas di benak Liam. Apakah ia memang sebaik itu sampai Gi bersemangat sekali menceritakannya?

Ia bahkan sudah bertemu ayahku, suara yang sama muncul dari tempat yang sama. Harry sudah bertemu ayah Gi. Itu berarti Liam sudah tertinggal satu langkah di belakang Harry bukan? Harry sudah bertemu dengan salah satu orangtua Gi yang Gi tidak beritahukan responnya saat melihat Harry bersama Gi.

Mobil Liam menepi di depan sebuah bangunan, kemudian Liam turun dari mobilnya dan berjalan memasuki bangunan itu. Saat sudah sampai di depan pintu rumahnya, sudah ada Niall berdiri di depannya. Laki-laki berambut pirang itu mengetuk-ngetukan kakinya ke lantai berkali-kali dengan tidak sabar dan akhirnya melihat ke arah Liam.

"Lama sekali." ujar Niall sambil memutar bola matanya.

"Kau yang terlalu cepat datangnya." balas Liam sambil membuka pintu rumahnya.

Niall masuk lebih dulu dan menduduki sofa biru yang ada di ruang televisi. "Kau kenapa?"

"Tidak apa-apa," Liam mengernyitkan dahinya. "Memang aku kenapa?"

Niall menghela napas pendek. "Tidak usah pura-pura, aku ini tahu benar kalau sedang terjadi sesuatu padamu."

Liam memang terlalu sering menghabiskan waktunya dengan Niall sampai-sampai orang itu hafal dengan tingkah lakunya. Jadi sudah percuma jika Liam akan membohongi Niall. Niall memang bisa mendeteksi kebohongan yang dilontarkan orang-orang, terutama Liam.

"Tadi aku bertemu Gi."

"Lalu bagaimana?" Niall mencondongkan tubuhnya ke arah Liam. "Ceritakan yang lengkap."

Lalu Liam melanjutkan kalimatnya dan memberitahu Niall apa yang membuatnya kesal, tanpa ada yang dikurangi maupun dilebihkan. Niall hanya merespon kalimat Liam dengan kata 'oh' atau menautkan alisnya bingung pada beberapa bagian cerita Liam.

the lucky one (h.s./l.p.) | COMPLETEDDove le storie prendono vita. Scoprilo ora