Hey, I'm Tired

415 57 21
                                    

Triggered warning!
.
.
.
.

Hey, kau senggang? Aku ingin bercerita.

Itu pesan tertulis terakhir yang Renjun kirimkan padaku. Aku membalasnya dengan kata ya, menunggu beberapa saat sebelum akhirnya diia mengirimkan pesan suara padaku.

Aku menatap langit-langit kamar sewaku. Membiarkan layar ponselku masih menyala menampakkan aplikasi pengantar pesan. Mendengarkan suara Renjun yang mengalun di telingaku. Suaranya bergetar. Ia bercerita bagaimana ibunya sudah memintanya untuk segera menyelesaikan sekolahnya. Merantau antar kota sepertiku pun rasanya sudah begitu susah, terlebih ia yang merantau sampai ke negeri orang. Belum lagi bebannnya sebagai sulung dari tiga bersaudara dan ayahnya yang tengah sakit-sakitan.

Ketika ada rasa di hatiku yang tergerak menyuruh otakku untuk menggerakkan saraf guna membalas pesannya, otak dan hatiku entah kenapa kali ini benar-benar sinkron. Berkata nanti dan menyuruhku untuk berkaca pada diri sendiri.

Apakah aku sudah melakukan hal yang benar juga dalam hidupku sampai aku ingin membenarkan kehidupan orang lain?

– dan akhirnya aku hanya membalas “Maaf aku tak bisa berbuat apa-apa, tapi aku di sini mendukungmu dan akan selalu mendengarkanmu.”

Sejak hari itu aku kembali mengulang segalanya. Mengulang memori berbagai hal yang sudah ku lakukan dalam hidupku. Bagaimana aku menyia-nyiakan masa mudaku dan merasa bahwa aku tak bisa menjadi seperti orang-orang normal lainnya yang berhenti memiliki berbagai pertanyaan dalam kepalaku. Memiliki hidup yang berada di depan untuk di nikmati.

Aku mengesah. Bahkan untuk menghirup napas pun rasanya begitu berat dan susah di lakukan.
Satu pesan kembali masuk ke ponselku. Membuatku yang tadinya ingin mengabaikannya setelah percakapan terakhirku dengan Renjun pun terpaksa untuk melongoknya, memastikan jika itu sebuah hal yang penting atau bukan utnuk ku gubris setelahnya.

Donghyuck-ah, kau okay?

Aku tak membukanya memang. Hanya mengintipnya dari jendela notifikasi sebelum kembali mengunci ponselku. Menatap asbes tiga kali tiga dan bertanya pada diriku, apa aku oke? Lalu aku tertawa. Merasa begitu konyol karena tak mampu menjawab hal singkat itu seperti biasa.

Tawaku sedikit demi sedikit mulai menjadi sedikit keras. Peduli iblis, jika tetangga kamarku mendengarnya dan menganggapku layaknya orang gila.

Apa aku okay?

Secuil dari dalam kepalaku seolah berteriak. Kau tidak oke! Kau manusia hina yang menyia-nyiakan hidupmu! Membuat semua orang terluka, rugi, dan menyesal pernah mengenalmu! Lalu suara lain seolah menjawab dan menanyakan kebenarannya, apakah hidupku benar-benar sia-sia? Apakah aku akan mati dengan menyedihkan? Terbaring lemah di ruangan sempit yang gelap. Sendirian seperti yang selama ini ku lakukan sebab menolak segala ajakan pergi bersama kawanku lainnnya.

Napasku semakin tercekat. Dadaku bergemuruh hebat. Aku merasa tengah berasa di sebuah perang dunia dimana musuh berbondong-bondong bberada di depanku yang sendirian dan mengarahkan senapan mereka padaku. Hanya menunggu kala jemari mereka menekan pelatuk. Padahal selama ini yang ku tahu, detak jantungku begitu lemah sampai aku tak beda dengan orang sekarat, tapi kini ia berdebar kencang seperti yang digambarkan pada tokoh utama wanita dalam drama yang tengah jatuh hati pada lawan mainnya. Pun keringat dingin yang mengucur pada pelipis serta muncul tanpa malu dari dahiku tak ingin ketinggalan. Membuatku akhirnya hanya terdiam tak tahu harus bagaimana.

Lampu kamarku masih menyala terang. Dini hari, namun tampak seolah siang dan panas surya menelusup dalam kamarku. Menguapkan segala pemikiran dan membuat mereka seolah menjadi gelembung-gelembung percakapan dalam ruangan dengan ujung yang menusuk kepalaku. Memojokkanku dan bak ingin memusnahkan eksistensiku begitu saja.

Tapi lagi-lagi suara dari kepalaku berteriak, apa selanjutnya setelah aku mati? Apa cerita-cerita agama itu benar dan aku akan berada di alam lain untuk selamanya. Terkungkung seolah tak tahu dunia luar seperti apa adanya?

Bibir bawahku ku gigit. Bayangan bahwa aku akan habis diuraikan oleh hewan-hewan lain bukanlah pokok yang ku takutkan. Umurku baru menginjak kepala dua. Banyak hal yang bisa aku lakukan dan aku lihat, jika aku hidup selamanya. Tapi apa untungnya hidup selama itu jika yang lain harus pergi dan mati? Namun jika aku yang menghilang, apakah yang lain akan menangis dan mengenangku? Atau mereka akan meninggalkanku begitu saja seperti aku yang melupakan undangan pesta ulang tahun mereka setiap tahunnya? Atau bahkan orang-orang akan bahagia karena sampah sepertiku akhirnya tak memberi tambahan pada populasi manusia di dunia?

Lalu sekali lagi, aku hanya bocah yang baru menginjak kepala dua. Bocah yang tak tahu kemana harus melangkah.







Dia✔Onde histórias criam vida. Descubra agora