• Enambelas

2.6K 281 33
                                    

=Galang=

Satu bulan sudah berlalu sejak kepergian Lulu. Galang melewati hari-harinya seperti biasa, rumah rasanya menjadi sangat sepi sejak kepergian Lulu. Apalagi, dengan kondisi Kakak keduanya—Niara yang masih belum mendapatkan donor mata, semakin membuat suasana rumah terasa seperti kuburan. Kakak keduanya itu selalu berdiam diri di kamar, Galang tak banyak bicara dengan Niara. Setiap harinya ia lalui dengan bosan, tak banyak kegiatan yang ia lakukan karena sang Mama semakin protective.

Seperti saat ini, Galang tengah menonton television. Ya, meskipun chanel-nya selalu diganti setiap menitnya. Sangat membosankan, tak ada acara yang menarik perhatiannya. Rasanya Galang ingin pergi main dengan Galis, atau pergi ke rumah pohon cewek itu. Sudah sangat lama ia dan Galis tidak mengunjungi tempat itu.

“Sayang, udah makan?”

Galang memalingkan fokusnya pada sang Mama yang baru datang dan duduk disampingnya.

Galang mengangguk, “Ma, Galang mau keluar sama Galis.”

“Mau kemana?”

“Ya kemana aja, Galang bosan dirumah terus.” jawabnya.

“Yaudah, jangan lama-lama.” mata Galang berninar mendengar penuturan Mamanya barusan.

“Serius, Ma?” tanya Galang lagi.

“Iya, sayang. Tapi, jangan terlalu lama. Kasihan Kakakmu sendirian di rumah, soalnya Mama harus ke kantor.”

“Oke. Kalau gitu Galang mau siap-siap dulu, bye Ma.” Galang berlari menuju kamarnya untuk bersiap, bisa dilihat dari raut wajahnya jika ia sangat senang. Ya, bisa dikatakan ini adalah kali pertamanya ia diijinkan keluar oleh sang Mama setelah sebulan lamanya mendekam di rumah.

Utami yang melihat itu pun ikut tersenyum senang. Sudah saatnya ia membebaskan Galang setelah kejadian yang menimpa putri pertamanya, karena memang tak seharusnya ia mengurung putra-putrinya dirumah hanya takut jika sesuatu yang buruk terjadi. Bukan tak ada kemungkinan juga jika di dalam rumah pun tak akan terjadi sesuatu yang buruk. Sesuatu yang buruk akan terjadi dimana pun dan kapan pun jika itu sudah kehendak-Nya.

Tapi detik berikutnya, senyum Utami luntur. Ia teringat dengan putri keduanya—Niara. Putrinya menjadi lebih pendiam sekarang, yang Niara lakukan hanya berdiam diri di kamarnya. Ia pun jarang ada di rumah karena membantu pekerjaan suaminya di kantor.

=Galang=

“Loh, kok berhenti, Lang?” tanya Galis saat Galang menepikan motornya tiba-tiba.

“Lis, itu Kak Juni?” Galis langsung menoleh kearah yang ditunjuk Galang tadi.

“I-ya. Tapi, Kak Niara 'kan...”

“Jadi, selama ini Kak Juni udah bohongin kita. Tapi kenapa?”

“Kita susul aja, Lang.” usulnya pada Galang yang masih diam dengan kebingungannya.

Galang mengangguk menyetujuinya dan melajukan motornya mengikuti kemana Kakaknya akan pergi bersama seorang pria seumuran kakaknya itu.

=Galang=

“Kamu kenapa sih, Lang. Bukannya kamu habis keluar sama Galis, tapi kenapa mukanya bete gitu, hm?”

“Galang,” panggil Utami lagi karena sang putra mengabaikan ucapannya. Utami sendiri heran dengan sikap putranya yang mendadak seperti seseorang yang sedang berpikir begitu keras, sebenarnya apa yang tengah dipikirkan putranya itu.

“Kenapa, Ma?” tanya Galang bingung.

“Sebenarnya apa yang sedang kamu pikirkan, sayang? Sampai-sampai Mama bicara aja kamu nggak dengar,” ujar sang Mama.

“Nggak ada apa-apa, Ma.”

“Beneran?” tanya Mama lagi karena belum yakin dengan jawaban putranya. Dari raut wajahnya saja sudah bisa ditebak oleh Utami jika putranya ini tengah banyak pikiran.

“Sebenarnya ... tadi Ga—” ucapannya harus terhenti kala mendengar sebuah teriakan dari lantai atas yang diyakini itu adalah suara milik Niara. Kakaknya itu berteriak sangat kencang sehingga membuat sang Mama langsung beranjak dari duduknya dan berlari ke lantai atas untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.

Galang yang sempat terkejut dan bingung pun langsung mengarahkan kakinya mengikuti sang Mama menuju kamar sang Kakak. Setibanya Galang disana, ia melihat sang Kakak yang tengah bersimpuh jatuh terduduk, di depannya sang Mama pun ikut bersimpuh dan mencoba menanyakann apa yang terjadi pada putrinya—Niara.

“A-ada apa?” tanyanya tergagap saat melihat wajah sang Kakak yang sudah pucat pasi dalam dekapan sang Mama. Matanya kembali membelalak saat sebuah senyum—smirk—terpatri dibibir pucat Kakaknya.

“Sayang, ada apa, nak?” atensinya kembali teralih pada sang Mama yang tengah menanyakan apa yang terjadi pada Kakaknya.

“N-niara, nggak tahu ... semalam Niara cuma minum vitamin yang dikasih Galang, tapi ... pagi tadi tiba-tiba perut Niara sakit,”

Sontak saja Galang terkejut atas penuturan sang Kakak yang membawa nama dirinya dalam pengakuan Kakaknya, apalagi dalam penuturan itu tidak benar sama sekali. Ia tak pernah memberikan vitamin pada Kakaknya, lantas mengapa sang Kakak dengan tega mengatakan kebohongan itu pada sang Mama? Ia pikir Kakaknya sudah gila.

“Kak Juni bohong, Ma. Galang nggak pernah ngasih vitamin sama Kak Juni,” sanggahnya tak terima dengan penuturan—tuduhan Kakaknya.

“Nggak, Ma. Semalam Galang datang ke kamar aku, dia kasih vitamin dan suruh aku untuk minum detik itu juga. Galang ... kenapa kamu jahat sama Kakak, apa salah Kakak?”

Detik berikutnya Galang berdecih sekaligus mengakui kemampuan acting sang Kakak yang luar biasa.

“Pantas aja, dari kemarin kamu murung terus. Jadi karena kamu sudah mencoba mencelakai Kakakmu sendiri, iya?” ujar Utami sinis.

“Nggak, Ma! Galang nggak mungkin ngelakuin itu sama Kak Juni.”

Galang dibuat heran dengan Mamanya, entah sudah berapa kali Mamanya itu termakan oleh kebohongan Kakaknya—Niara.

“Jelas mungkin. Kamu pasti iri sama aku karena Mama selalu perhatian sama aku, dan kamu merasa terabaikan. Iya 'kan, Lang?” Sungguh, ingin rasanya Galang membungkam mulut licin Kakaknya itu.

Galang menggeleng, sudah waktunya. Ya, sudah waktunya ia mengatakan kebohongan Kakaknya yang lain, “Mama harus tahu, kalau Kak Juni itu sebenarnya nggak buta. Dia bohong, Ma!”

“Diam! Bicara omong kosong apa kamu, Galang?” ujar Utami lantas berdiri berhadapan dengan sang putra yang wajahnya sudah memerah menahan emosi.

“Galang nggak bicara omong kosong, Kak Juni emang pura-pura buta!” ucapnya berteriak karena sudah muak dengan sang Mama yang tidak percaya dengan omongannya.

'Plak!' Galang tersenyum miris mendapati bahwa sang Mama telah menamparnya dengan keras. Bahkan sekarang pipinya berdenyut sakit.

“Cukup Galang! Bukan seperti ini caranya untuk dapat perhatian dari Mama, mana mungkin Kakakmu berbohong. Jelas-jelas dokter yang mengatakan itu langsung pada Mama, jadi berhenti mengatakan omong kosongmu itu!”

“Mama bisa aja tertipu dengan sandiwara Kak Juni, tapi Galang nggak, Ma. Galang tahu, kalau Kak Juni udah bersekongkol dengan dokter itu. Apa? Mama mau tampar aku lagi? Tampar aja, Ma!” ujarnya saat melihat tangan sang Mama yang sudah menggantung diudara berniat melayangkan tamparannya kembali.

Mata Mereka saling bertemu, menatap satu sama lain. Hingga kemudian terdengar suara gedebuk dari belakang. Mereka lantas menoleh dan melihat Niara sudah tergeletak disana. Mama lantas langsung menyerbu tubuh sang Kakak dan berteriak meminta tolong padanya. Galang melenggang pergi dari sana meninggalkan sang Mama yang meneriaki namanya sambil meminta tolong. Ia masuk kedalam kamar dan mengunci pintunya. Biarkan Galang menenangkan dirinya sebentar.

=Galang=

Drama dimulai~

GalangWhere stories live. Discover now