9

506 101 6
                                    

Sepeninggal Jae Hyun, aku mempertanyakan kewarasanku sendiri. Kenapa pula aku harus bertanya siapa sebenarnya Tae Yong padanya, bukankah sejak awal aku sudah memperingati diri untuk tidak ingin peduli?

Restoran hampir tutup dan aku tidak ingin dipusingkan tentang Tae Yong. Setelah menyelesaikan yang tersisa; bersih-bersih, aku berpamitan pada Imo untuk pulang terlebih dahulu. Imo memilih untuk tinggal di restoran demi meracik bumbu dan membuat mi ramyeon untuk esok hari. Aku terlalu lelah untuk membantu Imo dan yang melegakan Imo menyuruhku beristirahat di rumah saja, alih-alih meminta bantuan.

Aku menstandarkan sepeda di luar flat sesaat setelah sampai. Tak lupa Menguncinya sebelum melewati anak-anak tangga menuju ke gedung tersebut dan berlari menuju tempat tinggalku.

"Aku pulang."

Tidak ada jawaban seperti biasa. Ada dua kemungkinan, Hae Chan yang pergi atau dia ada, tetapi malas menjawab salamku seperti biasanya. Dia memang sangat menjengkelkan dan hari ini aku terlalu lelah untuk memberinya jitakan maut. Converse yang kupakai, aku ganti dengan sandal rumah. Saat hendak melintasi ruang tamu untuk menuju ke kamar, aku dikejutkan oleh sosok bersurai pink. Saking terkejutnya, pantatku mencium lantai dengan diiring 'gedebuk' yang semakin bikin pantat ngilu. Lolongan keras pun meluncur dari mulut.

"Ap ... apa yang kau lakukan di sini!?" teriakku sesaat setelah pacuan jantung yang lamat-lamat berirama normal, namun rasa ngilu masih terasa benar.

Ia cuma mengangkat alis sebelah sebagai jawaban tanpa ada niat untuk menolongku. Bukan berarti aku mengharapkan bantuannya! Sungguh aku tak sudi disentuh olehnya. Tapi bukankah manusia hidup harus saling tolong menolong, tak peduli di masa lampau ada kebencian di antaranya. Aku jadi menyangsikan kepekaan namja itu.

Aku berdiri, tanpa menunjukkan wajah kesakitan. Aku tidak ingin terlihat lemah di hadapannya. Dua langkah aku mendekat, tak lupa lipatan tangan di dada. Waktu yang tepat untuk penghakiman.

"Wah, Bukannya ke restoran untuk bekerja, kau malah di sini menonton TV sambil tiduran? Wah, sungguh hidupmu sangat menyenangkan."

Dia mengabaikan sindiranku dan malah menekan tombol remote untuk mengganti channel TV. Gelembung lelahku semakin membesar oleh desakan amarah yang ikut larut di dalamnya dan pada akhirnya pecahlah bersamaan dengan teriakan kemarahan. Tas selempang yang belum sempat kutaruh, kugunakan sebagai senjata untuk memukulinya.

"Pergi sekarang juga. Dasar Berandalan!"

Tarikan kencang kurasakan pada pergelangan tanganku dan pergerakan brutal yang kulayangkan pada Tae Yong berhenti seketika. Napas Tae Yong menampar pori-pori kulit wajah hingga membuatku membeku. Aku terlalu syok untuk menyadari semuanya.

"Hei, Nona Kepala Batu, kau-akan- menyesal-setelah-memukulku, aku sungguh-sungguh!" gumamnya lamat-lamat.

Aku yakin sekali mulut Tae Yong tidak ada es batu atau semacamnya, tetapi kenapa kata-katanya begitu 'nyes' di jantungku.

Otakku saat ini sedang mogok bekerja untuk memproses semuanya.

Ba ... bagaimana aku bisa menindih tubuh atas Tae Yong!!!

Prang!

Aku memaksakan leher yang kaku untuk memutar ke belakang. Hae Chan berdiri dengan pecahan gelas di kakinya serta air yang menggenang. Bukan es krim kali ini seperti waktu lalu.

"Noona, apa yang kau lakukan!"

Sial sekali hidupku jika berurusan dengan Tae Yong. Untuk kedua kalinya aku kedapatan dalam posisi tidak menguntungkan, yang bisa saja membangun perspektif negatif di pikiran Hae Chan.

Secepat kilat aku bangun lalu berlari ke kamar. Di balik pintu yang kututup kencang, aku menyentuh dada yang bergemuruh riuh. Aigoo! Napasku tersengal seperti baru saja berlari maraton. Aku pun memukul kepala, membodohi diri sendiri. Selanjutnya apa?! Aku tidak memiliki muka lagi untuk berhadapan langsung di depan Hae Chan. Bagaimana cara untuk menghadapinya?

Peduli setan! Yang kubutahkan sekarang dinginnya guyuran pancuran di kepala. Untuk situasi sekarang lengkap dengan Tae Yong yang berada di rumah ini, aku jadi mengutuk kamar mandi di luar kamar. Untuk menuju ke sana, dibutuhkan muka tembok karena harus melintasi ruang tamu dan dapur, otomatis melewati Tae Yong, bukan?

Arg! Sekali lagi peduli setan! Aku menyambar handuk dan baju ganti. Keluar kamar setelah memasang wajah seolah tidak terjadi apapun. Tatapan Tae Yong bisa kurasakan menembus punggungku dan aku berusaha bersikap abai. Begitu pula sikapku pada Hae Chan yang sedang sibuk membersihkan pecahan gelas.

Ah! Segarnya. Keluar dari kamar mandi, aku mengeringkan rambut panjangku dengan handuk. Hae Chan sudah berdiri menghalangi jalanku. Aku langsung menyeretnya ke kamar. Mendampratnya setelah menutup pintu. Kamar menjadi tempat strategis untuk menghindari deteksi pendengaran Tae Yong.

"Apa kau sudah tidak waras, mengizinkannya masuk ke dalam rumah?!"

"Noona kenapa sih? Apa salahnya mengajak Tae Yong hyung ke rumah setelah ia menyelamatkan nyawaku? Harusnya kakak berterima kasih padanya, bukan malah memukulnya!"

"Mwo!" Mataku otomatis membelalak. Bahkan Hae Chan tidak segan memanggilnya dengan sebutan hyung.

"Apa yang sudah terjadi, Hae Chan?!" seruku panik.

"Sepulang dari tempat les, aku dicegat preman. Mereka memaksaku menyerahkan uang. Kebetulan saja Tae Yong hyung lewat jalan yang sama. Langsung saja ia menghajar preman-preman itu dan membuat mereka lari ketakutan. Setelah insiden itu, aku mengajak Tae Yong hyung ke rumah untuk makan malam bersama sebagai tanda terima kasih."

Aku tidak bisa berkata-kata lagi.

"Noona, kenapa kau begitu membenci orang baik seperti Tae Yong hyung?"

Kenapa membencinya? Aku saja tidak tahu alasan pastinya.

If I Never Loved YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang