10.Menangkap Penyelundup

177 15 1
                                    

Malam itu cuaca gelap sekali. Untunglah laut tidak ganas
      
Sekitar pukul delapan malam, sebuah sampan me-luncur mendekati pantai. Tidak lama kemudian, sam-pan yang sarat muatan itu mendarat di teluk. Beberapa orang menurunkan peti-peti dari sampan
     
Ketika itulah datang kapal patroli dengan suara mesin yang lembut. Lampu sorot di atas anjungan me nyala tiba-tiba, menyoroti perahu. Dari pengeras suara terdengar perintah agar awak perahu itu menyerah.
     
Tiga orang yang sedang menurunkan barang di pantai menjadi terkejut. Ada yang bertiarap di dekat sampan mereka. Satu orang melarikan diri ke arah hutan.

Budin memasang batu di ketapelnya. Dengan cepat di bidiknya penyelundup yang melarikan diri itu. Akan tetapi, karena terburu - buru, jepretannya tidak mengena. Sekali lagi ia mengeluarkan batu dari sakunya dan melepaskan jepretannya ke arah arah orang itu. Tampaknya kali ini mengena karena orang itu memegang kepalanya. Toni memutar mutar taspinggangnya yang sekarang di jadikan bandring. Sebuah batu melayang dan menghantam punggung orang itu.
   
Semung, Abdul, dan derahman tak mau ketinggalan. Ketiganya berlari mengejar. Budin dan toni tidak berani lagi menggunakan senjatanya, takut mengenai kawan sendiri.
   
Sekarang kelimanya anak itu menghujamkan tombak mereka ke arah badan penyelundup yang sudah jatuh duduk. Derahman memegang kapak batu, mengayunkan kapak itu sekuat tenaganya ke arah lawan yang nyaris tak berdaya itu.

"Tunggu!" Sebuah teriakan keras di barengi dengan cahaya lampu senter yang terang.
     
Derahman menghentikan ayunan kapak batunya. Begitu juga ke empat kawannya, sekarang hanya berdiri tegak bersiaga. Tidak lama kemudian, kelihatan kedua orang yang bersembunyi di balik sampan telah di borgol. Di giring oleh tiga petugas. Kemudian lampu senter di sorotkan kepada penyelundup yang luka - luka di hantam anak-anak itu. Orang itu kemudian di borgol petugas.
   
Nah, anak-anak," kata petugas yang membawa senter, "Kalian akan kami bawa pulang. Penjahat ini sudah kami tangkap dan akan kami masukkan ke ka-bin sel di kapal. Sudah siap kalian?"
    
"Sudah, Pak," kata Toni, "Kami sudah rapikan gua kami. Api di tungku sudah kami padamkan. Hanya saya minta izin untuk membawa ini." Toni memperlihatkan papan kalender dan lampu tempurungnya.

"Apa itu?" tanya petugas.
    
"Kalender dan lampu. Buat kenang-kenangan, Pak, jawab Toni
    
"Saya juga minta izin membawa ini, kata Abdul memperlihatkan ukiran kepala naga sisa perahunya, "Inilah sisa perahu kami, Pak. Cermin ini juga yang
kami gunakan untuk mengirim isyarat."
    
"Bawalah. Bawa," kata petugas-petugas itu dengan ramah.
    
"Anak-anak itu naik perahu karet bermotor bersama petugas. Mereka menuju kapal patroli. Ketika pe-rahu mendekat, senter dinyalakan menyoroti kapal. Anak-anak itu melihat ada tangga tali diulurkan dari kapal. Didekat tangga, pada haluan kapal tertulis hu-ruf-huruf: BC 420.
     
Toni merasa, itulah aksara paling indah yang per-nah dilihataya: BC 420. Ya, nama lambung kapal patroli
Itu merupakan nama yang paling indah buat Toni. mungkin juga bagi yang lain.

Kelima anak itu kemudian ditanyai oleh kapten kapal. Sambil menghirup susu coklat masing-masing kelimanya seperti berebut menceritakan pengalaman mereka masing masing.

Tamat.

Terdampar Di Pulau MisteriusWhere stories live. Discover now