25. Coma

32 4 3
                                    

Mungkin niatnya menjaga, tanpa tahu kalau itu menyakiti. Seperti burung yang mati di sangkarnya.

***

Membuka mata, hal pertama yang Nantha lihat adalah langit-langit kamar bernuansa terang dan menyala. Membuat matanya seketika menyipit karena cahaya lampu tepat di atasnya.

Mengerjap sebentar, Nantha menoleh ke sisi lain. Mencari keberadaan seseorang di sekitarnya. Siapa tahu ada yang bisa menjelaskan. Yang ia dapatkan malah bau khas seseorang. Jangan-jangan Ditya yang menemukannya?

Ia ingat, kok, kejadian malam di mana harus mendorong mobil karena kedapatan pemalak di pinggir jalan. Itu pasti disengaja oleh seseorang, bukan semuanya. Kalau memang hendak memalak, harusnya mereka meminta uang saja, 'kan? Bukannya meminta untuk mendorong mobil? Niat sekali mengerjai.

"Udah bangun? Apa kabar? Lama nggak lihat, lama juga nggak ketemu." Seseorang memasuki kamar dan menyapanya.

Senyum yang biasanya menyebalkan, kini berganti dengan senyum tulus menenangkan. Seperti merasa hangat hanya dengan melihat senyum itu.

Menarik napas, Nantha masih belum mengerti keadaan saat ini. Mengapa ia bisa ada di kamar abu-abu dengan bed cover hijau tua milik Luthfa? Bukankah awalnya ia diculik dan disekap oleh Genta?

"Pasti lo udah tahu rencana gue ini makanya semalam bukannya lo ikut dorong malah melipir ke pinggiran. Buat nemuin gue," jelas Luthfa yang sebenarnya tidak ingin Nantha dengar. "Atau karena lo emang pengen memanfaatkan keadaan."

Nantha menatap hal lain. Seperti; poster besar bergambar pemain sepak bola yang sedang menggiring bola di lapangan hijau. Dengan tribun yang sepertinya ramai sekali karena adanya sorakan.

"Semacam feeling kalau lo bakal stay di Indo karena kepikiran gue mulu," lanjut laki-laki itu. Ia duduk di kursi dekat pintu.

"Dih." Nantha duduk, menatap Luthfa dengan ekspresi masih datar. "Jadi, semalam itu ulah lo? Termasuk malak di mobil papa gue?" tanya Nantha, mengerutkan kening.

Awalnya, ia kira itu Genta, tetapi mengapa malah sosok yang tidak ia percaya sama sekali?

Mengangguk, Luthfa membuka bungkus cokelat Silver Queen.

"Gue ngerti maksud dari semua ini. Papa lo maksa lo sekolah di Singapura sama Zero karena mau dijodohin sama cowok itu. Alasannya tentu saja karena bokapnya Zero kaya dan ... bakal dapat warisan juga. Ehm, kerja samanya terlalu baik seperti sahabat sendiri. Nggak taunya nusuk."

Gadis dengan wajah khas bangun tidur itu terkejut. Takjub dengan pemikiran Luthfa yang langsung mengerti tujuan dan alasan Ditya. Artinya ... otak Nantha secetek itu untuk mengerti hal yang sederhana?

"Gue sama sekali nggak ngira itu lo." Nantha berucap sendu. Tatapan matanya ke bawah, menekuk kaki dan bersila. Terlihat seperti meratapi nasib dirinya. Begitu susahnya Genta menemukan Nantha? Mengapa malah Luthfa lebih dahulu? Apakah Genta tidak tahu tempat Nantha dikurung?

"Sekitar seminggu setelah menghilangnya lo, gue datang ke rumah lo. Nggak ada orang, terus gue tanya-tanya akhirnya sampai di rumah sakit dengan keadaan mama lo yang ... yah ... mungkin sekarang lebih ba—"

"Lo lihat Mama? Bagaimana keadaannya? Gue pengen ketemu sama Mama. Gue kangen ... lama banget sampai rasanya ...." Kembali, air mata Nantha menetes. Janjinya untuk tidak menangis lagi tak terpenuhi. Malah dikhianati oleh dirinya sendiri.

"Mama lo ... mungkin gara-gara gue ... sekarang ... belum bangun lagi."

Apa?!

***

Ineffable [END]Where stories live. Discover now