05

6.3K 1K 97
                                    

"Bagaimana kondisi Jaehyun, tuan Tabib?" isak Taeyong. Di sebelahnya, bibi Kim terus mengusap-ngusap punggungnya prihatin. Taeyong sungguh tak tega melihat suaminya yang terbaring tak berdaya di depannya.

"Kondisinya sekarang buruk sekali, Taeyong. Bisa dibilang benar-benar dekat dengan kematian," Tabib Yoon meletakkan tangannya di leher Jaehyun, menekan beberapa titik syaraf di sana.

"A-anu," Taeyong buru-buru mengeluarkan obat yang dibelinya di kota. "Saya sudah mendapatkan obatnya. Saya baru saja pulang dari kota untuk membelinya."

"Dengan kondisi seperti ini, obat itu mungkin tak akan bereaksi. Jaehyun harus dibawa ke kota. Ia harus ditangani dokter di kota,"

Taeyong menangis kencang. Dipeluknya tubuh Jaehyun, dikecupinya berkali-kali wajah pucat suaminya.

"Aku akan membawa Jaehyun ke kota," putus Taeyong. Bibi Kim dan Tabib Yoon saling pandang.

"Taeyong, biayanya...?" Bibi Kim terlihat ragu.

Taeyong meremas ujung bajunya.

"Itu bukan masalah. Aku akan lakukan apapun. Jaehyun harus sembuh."

+++

Sejak hari itu, Taeyong sama sekali tak keluar dari ruang menenunnya. Ia hanya keluar untuk merawat Jaehyun, mengganti kompresnya, menyuapinya makan. Siang malam Taeyong terus menenun tanpa kenal lelah, diabaikannya rasa sakit di tubuhnya. Bayang-bayang bahwa Jaehyun akan meninggalkannya terus menghantui Taeyong. Tidak, Taeyong tak ingin dan tak akan kehilangan Jaehyun. Beruntung kain tenun Taeyong selalu laku bahkan saat Taeyong menaikkan harga jualnya. Tak jarang para saudagar kaya memberi uang tip untuk Taeyong saat Taeyong bercerita tentang suaminya yang tengah sakit keras. Taeyong pun tak henti-hentinya membungkuk berterima kasih pada orang-orang murah hati itu.

Penampilan Taeyong berubah drastis. Walaupun kecantikannya masih tetap terpancar, terlihat jelas wajahnya memucat dan tubuhnya mengurus. Tubuh Taeyong kini dipenuhi luka, terutama kedua lengannya yang kini dibalut perban, dimulai dari lengan atas sampai ke ujung jemarinya. Taeyong benar-benar terluka parah akibat terus menerus menenun. Bibi Kim pun sudah memperingatinya untuk berhenti sejenak, namun Taeyong enggan. Ia tak ingin membuang waktu barang sedikit pun. Jaehyun benar-benar menjadi prioritasnya, walaupun tubuhnya sendiri yang menjadi bayarannya.

Hari yang ditunggu pun tiba. Uang Taeyong sudah mencukupi untuk membawa Jaehyun ke kota. Dokter di kota mengatakan, Jaehyun harus segera menjalani operasi. Namun ternyata,biaya operasinya amat mahal, di luar perkiraan Taeyong. Uang yang dimiliki Taeyong masih kurang.

"Taeyong...Bibi bisa bantu menambahkan biayanya," Bibi Kim menyentuh bahu Taeyong.

Taeyong terdiam lama sebelum akhirnya menatap Bibi Kim.

"Tidak perlu, Bi. Aku akan kembali ke desa untuk menenun beberapa kain lagi. Dengan begitu, uangnya pasti  akan cukup,"

Bibi Kim terbelalak.

"Tidak, Taeyong! Lihat dirimu!" diguncangnya tubuh lemah Taeyong. "Kau seperti bunga yang layu, Taeyong. Aku tahu, ini berat untukmu. Tapi, jangan jadikan nyawamu sebagai taruhannya!"

Taeyong menggeleng kencang. Tubuhnya gemetaran. "Tidak,Bi. Aku... aku tak ingin kehilangan Jaehyun. Dia adalah yang paling berharga yang kumiliki."

Bibi Kim menatap kasihan Taeyong yang terlihat amat menderita. Dipeluknya tubuh Taeyong, membiarkan pemuda mungil itu menangis tersedu-sedu di pelukannya.

"Semoga Dewa memberkati cinta kalian, nak,"



Taeyong memasuki ruang rawat Jaehyun, dan tersenyum saat melihat suaminya itu masih terjaga. Diambilnya kursi lipat untuk duduk di sebelah tempat tidur suaminya.

"Jaehyunie," Taeyong menggenggam erat jemari Jaehyun.

"Tae...yong," suara Jaehyun hampir tak terdengar, bahkan hampir menyerupai bisikan. Membuat hati Taeyong semakin sakit.

"Jaehyunie... aku harus kembali ke desa sebentar untuk menenun beberapa kain lagi. Setelah itu— setelah itu aku, akan bisa membayar biaya operasimu. Kamu akan sembuh, Jaehyun. Kita akan pulang ke rumah berdua dan hidup dengan bahagia,"

"Taeyong... kamu terlihat tak sehat. Tanganmu...sakit...." Jaehyun mengucap dengan susah payah.

"....Iya, Jaehyun. Ini sakit. Tapi.... takkan sebanding dengan rasa sakitku bila kamu meninggalkanku," Taeyong menatap lengannya sendiri yang penuh dengan balutan perban. "Makannya aku akan berjuang. Aku akan mati-matian berjuang untukmu, Jaehyun. Untuk kesembuhanmu. Maka sembuhlah,"

"Taeyong..." Jaehyun menitikkan air mata.
"Aku cinta... padamu..."

Taeyong pun tak kuasa membendung air matanya lagi. Sambil terisak ia bertanya:

"Jaehyun, bila nanti aku bukanlah lagi seorang manusia, apa kau masih akan tetap mencintaiku...?"

Dan anggukan lemah Jaehyun pun membulatkan tekad Taeyong.




TBC

The Crane Wife ; JAEYONGWhere stories live. Discover now