Istri Kedua Ayahku

7.1K 210 2
                                    

"Sabrina! Jaga mulutmu! Jangan buat Papa menamparmu lagi!"

"Silahkan. Sabrina enggak perduli! Bahkan jika Papa mau bunuh Sabrina, silahkan!"

Sebuah tamparan mendarat di pipi mulusku.

"Mas ... sudahlah. Sabrina masih kecil."

"Halah. Dasar wanita murahan!"

"Sabrina! Cukup ... cukup, Sabrina! Papa akan antar kamu ke rumah Mama."

"Enggak perlu. Sabrina bisa pergi sendiri. Sabrina benci Papa ...!"

Aku berlari dengan deraian air mata. "Aku benci padamu, Ajeng. Aku akan membalas semua perbuatanmu."

***
Namaku Sabrina. Usiaku kini menginjak enam belas tahun. Aku anak pertama dari empat bersaudara. Keluarga kami baik-baik saja, bahagia dan penuh keharmonisan. Tapi semua berubah menjadi neraka saat wanita bernama Ajeng Anggraeni itu masuk ke dalam kehidupan kami.

Papa sering meninggalkan kami dengan alasan pekerjaan di luar daerah. Dan mama manut saja. Aku pun hanya bisa sabar menanti papa kembali. Walau aku sangat merindukannya. Aku sangat dekat dengan papa ketimbang dengan mama. Apa pun yang kuinginkan papa akan memberikannya. Sebagai gantinya aku harus menjadi anak yang berprestasi di sekolah.

Sedangkan adikku semuanya lelaki. Jadi aku merasa bagai tuan putri disaat kumpul dengan mereka. Adikku pertama namanya Reni, berusia sepuluh tahun, kedua Rian, berusia delapan tahun dan si bungsu Akbar berusia dua tahun. Sebagai kakak aku sangat menyayangi mereka, apalagi adik bungsuku. Walau kulitnya lebih putih dari kulitku tapi rasa sayang ini sangat luar biasa untuknya.

***
Sore itu saat kami sedang menunggu kepulangan papa. Aku mendengar mama sedang menangis di dalam kamarnya. Tanpa pikir panjang langsung saja kuhampiri mama yang sedang menangis sesenggukan.

"Ma ... Mama kenapa?"

"Enggak apa-apa, Rin."

"Mama kok gitu? Cerita dong sama Rina."

"Papa kamu enggak bisa pulang, Sayang."

"Loh ... kok gitu. Papa kan sudah janji mau pergi bawa kami jalan-jalan, Ma."

"Iya, tapi Papa enggak bisa pulang."

"Terus, Mama kenapa nangis?"

Mama tak menjawab pertanyaanku. Malah memelukku erat. Aku yang kebingungan hanya membalas pelukan mama. Lalu meninggalkan mama di kamar berdua dengan adik bungsuku.

"Hmm ... pasti mama dan papa berantem. Aku harus telepon papa."

Kuambil gawai berwarna pink itu. Dan mencari kontak papa lalu meneleponnya. Tapi sayang, no papa tak dapat dihubungi.
Tak ada prasangka buruk terhadap papa saat itu. Karena mama memang akan selalu menangis jika papa menguatkan suaranya.

***
Malam harinya, Mama tak kunjung keluar kamar. Aku menjaga adik-adikku dan membuatkan mereka makanan bersama Bibik.

"Sabrina ..."

"Apa! Coba panggil sekali lagi! Kau mau aku pukul?"

"Bercanda, Kak. Jangan marah."

"Jangan pernah memanggil namaku faham! Aku ini Kakak tertua."

"Iya ... iya, aku lapar."

"Iya ... iya, sabar. Ini aku sedang buat makanan sama Bibik. Apa kau tidak lihat. Pergi sana, ganggu saja."

"Yeyeye ..." ejek adikku.

Setelah selesai membuat makanan. Aku masuk ke kamar mama. Tapi mama sudah tertidur dengan adik bungsuku. Maka kubiarkan mereka dan berkumpul dengan kedua adikku di meja makan.

Istri Kedua AyahkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang