Pria dari Lembah Es

3K 168 77
                                    

Tadinya ia hanyalah seorang pria muda biasa, berjalan melanglang buana dengan Hati yang merah cerah dan terpampang jelas.

Teman, biar kuberitahukan satu hal padamu: Hati hanya punya satu keinginan, yaitu untuk bebas merasa. Itulah persisnya yang pemuda itu lakukan-membebaskan Hatinya-dan ia pun bahagia.

Matanya yang berwarna madu seakan berkilau terkena sinar siang hari. Rambutnya yang berwarna senada beriap-riap diterpa angin, begitupun kemeja longgar yang dikenakannya. Sepatu botnya berketak-ketuk menyentuh tanah, ritme langkahnya diselaraskan dengan siulan dan petikan lincah ukulele yang selalu ia bawa ke mana-mana.

Dengan topi berhias sehelai bulu panjang, ia terlihat persis seperti musisi keliling yang sama sekali tak mempedulikan dunia. Dan memang benar, ia tidak begitu peduli. Di masa-masa awal perjalanannya, ia menyadari bahwa banyak orang menutupi Hati mereka rapat-rapat sembari berjalan, dan ia merasa bahwa mereka itu bodoh. Mana mungkin Hati bisa tahan disekap seperti itu? Ia lantas bertekad untuk takkan pernah menutup-nutupi Hatinya sendiri.

Teman, kalau saja ia mengambil waktu sebentar untuk melihat dengan lebih seksama, maka ia akan mendapati bahwa Hatinya yang terpampang itu ternyata sudah lusuh dan penuh goresan.

Tak kenal ampun, hujan dan terik mendera silih berganti. Dan, karena ia terus berjalan, ia pun terus bersinggungan, menyerempet, kadang menabrak di sini dan sana. Awalnya, ia masih tidak sadar. Namun semakin hari goresannya semakin bertambah. Hatinya semakin perih dan melemah. Pemuda itu mulai bingung harus bagaimana.

Kemudian, ia menyadari bahwa ada sesosok perempuan di sampingnya. Perempuan itu membelai lembut Hatinya yang tanpa perlindungan.

"Berikanlah Hatimu padaku. Akan kurawat sampai sembuh," katanya teduh.

Pemuda itu pun menyerahkan Hatinya tanpa curiga. Tetapi, alih-alih menyembuhkan, perempuan itu malah menikam dan melemparkan Hati tersebut begitu saja. Setelah susah payah mengambil Hatinya kembali, ia menyadari bahwa di Hatinya yang kini sudah lecet-lecet ada pula luka sayatan yang menganga lebar.

Langkah-langkah kakinya yang semula ringan kini menjadi berat dan perlahan. Setiap kali ia menapak, luka di Hatinya bereaksi. Seakan ada yang meremas lukanya, lalu melepasnya sebentar untuk bernafas, dan kemudian meremasnya lagi tanpa kenal ampun. Hatinya yang tersayat itu berdenyut, memanas, dan terasa pedih luar biasa. Ia tidak mengerti bagaimana ini semua bisa terjadi padanya, tetapi ia tahu bahwa luka ini harus disembuhkan. Segera.

Sayangnya, bahkan di Dunia Mimpi pun belum ada ramuan obat yang bisa menyembuhkan luka Hati. Putus asa, akhirnya ia melakukan hal sama seperti orang-orang yang tadinya ia cemooh: ia mulai menyembunyikan dan menutup Hatinya rapat-rapat supaya tak ada lagi yang bisa menyakitinya.

Mungkin saja ternyata orang-orang itu juga menutup Hati mereka karena terluka, siapa tahu. Yang jelas, ia tidak peduli. Yang ia tahu, Hatinya luka dan terasa sakit sekali. Terseok-seok menahan kesakitan yang semakin menjadi, ia akhirnya berjalan bersama mereka untuk mencari tahu apa yang harus ia lakukan dengan Hati bila terluka. Ia bertanya dan mengumpulkan cerita mereka, lalu berjalan, dan lalu bertanya lagi.

Temanku, di antara kelelahannya berjalan, entah bagaimana ia tertidur dan sampai ke dalam sebuah Mimpi yang sangat aneh. Banyak hal dari Mimpi itu yang tak bisa ia ingat, tetapi ia ingat melihat kertas terlipat yang terbang ditiup angin, menunjukkan jalan baginya.

Patut kau camkan bahwa ia bukannya yakin akan apa yang ia lakukan. Sebenarnya, ia sama sekali tidak yakin. Tetapi, Teman, saat kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan, kau akan mencoba segalanya. Bahkan hal yang paling tidak masuk akal sekalipun.

Singkat cerita, ia melangkahkan kakinya ke arah kertas itu terbang dalam Mimpi yang dilihatnya, dan langkah kakinya itu menuntunnya ke Lembah Es.

Teman, tempat itu sebenarnya lebih tepat disebut ngarai karena berada di antara pegunungan. Jalan setapak untuk masuknya panjang, sempit dan berangin kencang. Semakin jauh melangkah, rasanya pemuda itu seperti masuk ke dalam perut gunung, dan tiba-tiba saja ia sudah sampai di suatu dataran es. Butiran-butiran salju berjatuhan perlahan, menumpuk di mana-mana, padahal saat itu sudah bukan musim dingin.

Gadis Penenun Mimpi dan Pria yang Melipat Kertas TerbangWhere stories live. Discover now