LAYAR 1

1.7K 92 10
                                    

Raut muka Niki mendadak berubah setelah menerima telepon dari pusat. Surya Departeamen Store terancam akan ditutup kalau penjualan belum mengalami peningkatan. Niki berpikir lagi ide apa yang belum dia pakai. Atau mengadakan acara diskon di tiap area? Cuci gudang sudah dilakukan, bahkan event yang diadakan serentak di semua cabang, masih belum menarik perhatian konsumen.

Terdengar pintu diketuk tiga kali, saat Niki menyandarkan punggungnya. Dipijatnya kening yang mendadak terasa sakit.

"Mbak, laporan hari ini sudah selesai. Perlu saya bawa ke sini atau saya masukin laci dulu?" tanya Stella seperti biasa.

Niki menghela napas. Harus sabar menyikapi situasi, berita ini jangan sampai tersebar luas dulu. Hal itu bisa mengancam ketenangan karyawan. Semua sudah dia lakukan. Tetapi persaingan dalam dunia retail, tidak bisa dianggap sepele.

"Bawa sini aja, Stel. Setelah itu kamu bisa langsung pulang." Niki mengambil gelas dan berlalu dari Stella menuju dispenser. Hari ini dia akan lembur lagi, jadi butuh asupan cairan sebelum makan malam di rumah. Jam lembur hanya sampai toko tutup.

***

Niki Magenta, mendapatkan posisi sebagai manajer toko berkat kerja keras. Dia bukan tipikal orang yang ambisius. Semua serba kebetulan yang pas di saat yang tepat. Niki sendiri hanya lulusan SMA, yang ingin menabung dulu untuk biaya kuliah.

Yadi Santoso, pria setengah baya baik hati yang mengajari semua hal pada Niki. Baginya, Niki sangat memiliki kemampuan untuk mengembangkan karirnya. Dari pramuniaga di lapangan, etos kerjanya tidak pernah mengalami penurunan. Selama tiga tahun Yadi—manajer toko di saat itu— sering mendapatkan laporan Niki lah karyawan yang yang mendapatkan nilai tertinggi.

Dengan cepat posisi pramuniaga berubah menjadi koordinator area, dan supervisor akhirnya menjadi posisi terakhir sebelum Yadi pensiun. Hampir semua karyawan di bawah Niki mengaku senang dengan gayanya memimpin. Tidak ada sekat karena jabatan, Niki lebih sering ngobrol, mendengarkan pendapat selayaknya teman bukan atasan, sama seperti saat dia menjadi pramuniaga dulu. Intinya tidak ada yang berubah karena jabatan.

Tak salah Yadi merekomendasikan Niki sebagai penggantinya. Manajemen pusat menyetujui itu. Tentu saja dengan fakta prestasi kerja Niki yang terlampir. Sempurna di tahun kelima masa kerjanya, Niki mendapatkan posisi sebagai Store Manager 01 di Surya Departmen Store.

***

"Kok, mukanya ditekuk, gitu?" Gusti mengawali pembicaraan begitu Niki memasang sabuk pengamannya.

Niki menoleh dengan ekspresi sedih. Dirinya nyaris menyerah menghadapi semua tekanan dari manajemen pusat. Tetapi perhatian Gusti selalu berhasil meringankan beban yang dirasakan.

"Hei, cewek cantik kayak kamu, lagi sedih aja masih cakep. Apalagi kalau senyum." Gusti selalu membuat Niki merasa lebih baik. Senyum tipis muncul dengan lesung pipit di kedua pipinya.

Gusti sendiri lega bisa menghilangkan kegundahan kekasihnya, meskipun tidak seluruhnya. Palingntudak senyum manis itu kembali muncul di wajah ayunya.

"Sudah malam, nih. Kamu mau langsung pulang atau mau makan dulu?" Pria yang pengertian sekali, melihat situasi hati Niki, Gusti merasa perlu mengajaknya ke tempat yang biasa mereka menghabiskan waktu. Area Semarang atas, Gombel, Banyumanik, adalah areanya anak muda. Di sana banyak kafe atau tempat nongkrong yang menyuguhkan pemandangan kota Semarang dari atas.

Lampu berpijar warna-warni, bintang pun tampak jelas jika tidak mendung. Di kafe Pelangi and Petrichor, Gusti menatap wajah tenang Niki yang tersenyum. Dua tahun Niki menjadi orang terpenting dalam hidupnya, begitu juga sebaliknya. Gusti merasa beruntung mendapatkan hati Niki.

"Kak, makasih selalu bersedia mendampingiku. Selama ini sepertinya aku seringkali menyusahkan." Niki menggamit lengan Gusti sambil menyandarkan kepala di pundaknya. Tinggi Niki hanya sebatas dadanya sehingga dengan leluasa Gusti mendaratkan kecupan lembut ke puncak kepalanya.

"Kenapa, sih? Ada masalah di toko? Barang hilang lagi atau ada karyawan yang nembak kamu, seperti waktu itu?" Niki menjawab dengan cubitan di perutnya.

"Aw! Iish, kok dicubit, sih?"

"Kak Gusti yang apa-apaan? Nggak ada yang berani nembak, mereka takut sama pacarku yang sering pasang muka seram."

Gusti tertawa dikatai seram. Padahal standar saja ekspresi Gusti setiap kali jemput ke toko.

"Nik, aku percaya kamu bisa atasi ini. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Seperti yang pernah kamu yakini selama ini, kan. Jangan putus asa."

Niki membenarkan ucapan Gusti. Selama ini dia selalu berhasil melewati semua hal dalam hidupnya. Lalu, apa bedanya sekarang. Hhh, Niki merasa kali ini memang tidak sama. Ada yang harus dipertaruhkan untuk menyelamatkan toko. Niki akan merasa gagal kalau toko sampai ditutup.

Malam itu Niki tidak cerita apa-apa pada Gusti. Sudah terlalu banyak masalah yang sering Niki tumpahkan, kali ini Niki harus berusaha sendiri dulu.

***

Toko mendadak ramai saat Niki datang. Biasanya juga ramai, tetapi kali ini di depan ruangannya.

"Ada apa ini? Kenapa berkumpul disini?"
Semua melipir ke pinggir. Menguak pintu ruangan Niki yang berdinding kaca sebagian.

"Bu Niki, ada tamu datang, terus langsung bongkar-bongkar ruangan Ibu," jawab salah seorang karyawan.

"Apa? Untuk semuanya saya minta langsung ke area, ya. Sudah waktunya bersih-bersih counter, kan? Jangan sampai kita terlambat buka toko." Seperti biasa suara Niki selalu dipatuhi semua karyawan. Apa yang diminta disampaikan dengan sopan, bukan dengan memerintah seenaknya.

Semua karyawan bubar, dan menguak pemandangan ruangannya sekarang. Sebenarnya Niki tidak pernah menata ruangannya dengan gaya tertentu. Semua dalam keadaan rapi, itu saja sudah cukup. Dia menyesalkan kenapa tidak ada pemberitahuan dari pusat akan membongkar ruangan. Dan tidak jelas tujuannya.

"Maaf, bisa dihentikan semua aktivitasnya?" Sebagai manusia biasa ingin sekali Niki marah, apalagi keadaan kantornya berantakan. Bahkan arsip yang sudah dirapikan kemarin malam, entah ada di mana.

Tiga orang pekerja berhenti. Tetapi seseorang dengan penampilan parlentenya menatap tajam Niki. Niki membalas tatapan itu dengan tak kalah sengit.

"Ooh, Anda yang bernama Niki Magenta? Sebentar ada seseorang yang ingin berbicara dengan Anda."

Pria itu menelepon seseorang, lalu menyerahkan ponselnya ke Niki. Pernyataan di telepon membuat shock siapa pun yang mengalaminya. Telapak tangan Niki mengepal, menahan marah yang sudah terkumpul di ubun-ubun. Seandainya ini film komedi, kepalanya mungkin dibuat seolah-olah mengeluarkan asap.

Tanpa berbicara sepatah kata pun, Niki keluar ruangan dan turun ke area. Lima menit lagi akan dilakukan prosesi buka toko. Dia harus mengalihkan pikirannya ke lapangan. Sebelum amarahnya meledak dan membuat dirinya malu.

***

Alhamdulillah jumpa lagi ceritaku yang baru. Saya berharap hasilnya akan lebih baik, ya.

Teman-teman saya harap bisa terhibur dengan cerita ringan ini. Jejakkan vote dan krisarnya, ya.

Dampingi saya hingga cerita tamat nanti.
Makasih.

TAKKAN TERGANTI ( Sudah Terbit)Where stories live. Discover now