Bab 1

283 34 37
                                    

Di kejauhan, kulihat lampu kereta yang melaju menuju stasiun. Roda-rodanya yang menggilas rel, mulai memasuki lorong stasiun yang sepi. Aku duduk di atas kardus. Menunggui orang-orang di dalam kereta keluar dan menyisihkah uangnya untukku sebagai belas kasihan.

Jam 23:00 adalah pemberhentian kereta  terakhir di stasiun Manggarai, Jakarta Selatan. Aku ngga biasa menghapal nama tempat. Kerena ada plangnya saja, aku jadi tau di mana lokasi diriku bertempat sekarang.

Bersama adikku---Ara, kami adalah penghuni stasiun ini sejak beberapa bulan yang lalu. Maksudku, kami adalah dua gadis kecil gelandangan yang tinggal nomaden. Soal menghapal kapan keberangkatan kereta awal hari dan pulangnya kereta akhir hari, bukan hal yang sulit. Disitulah peluang koin-koin masuk ke dalam kaleng karatan sebagai kerendahan hati orang-orang kepada anak-anak yang keluyuran tanpa tau rumah seperti kami.

"Kasihanilah aku dan adikku, Bapak." Aku menyodorkan kaleng kosong, karena bapak itu sempat melirik kami. Di mana ada kesempatan, di situ ada harapan.

Dia membuka topinya. Wajahnya mengingatkanku pada Squidword karena kepalanya botak dan dahinya banyak kerutnya. Dia berdecak sambil merogoh saku jaket. "Yah, Dek, saya kehabisan uang. Cuma ada seribu," katanya sambil menyodorkan uang itu. 

Ara berdiri dan menadah sikut kanannya untuk mengambil uang logam itu dengan sopan. "Terima kasih, Pak."

"Kalian dari mana?" tanyanya tanpa basi-basi menuduh kami sebagai gelandangan. Walaupun itu benar.

Aku dan Ara bungkam. Itu pertanyaan yang paling kami benci sebagai pengemis anak-anak. Karena, dulu pernah ada seseorang yang sok baik dan mencoba menculik kami lewat pertanyaan pertamanya 'kalian dari mana?'. Berhati-hatilah dengan orang-orang yang suka banyak bertanya. Itu yang kami dapat selama setahun kelayapan menjadi gelandangan.

Bapak itu menatap kami, lalu menaik turunkan alisnya cepat. Mungkin dia menunggu jawaban.

"Kami dari Sydney," jawabku berbohong.

Dia mengernyit. "Yang bener?"

Ara mengangguk-angguk. Padahal kami dari Karawang.

Ia mengacak-acak pelan rambut kribo Ara. "Ya udah." Dia pergi, bersama suara derap sepatunya yang semakin menjauh.

Walaupun dia hanya memberi kami uang seribu rupiah logam, kurasa dia orang baik. Dan, hanya sekadar penasaran saja.

Stasiun sudah kosong. Kami meningalkan kardus kami untuk membeli makan.

"Mana uangnya, Ra?" tanyaku saat kami berjalan di jalan setapak yang lengang, mencari warung makan yang masih buka.

Ia menaikan alis. "Ohhh, yang dari bapak-bapak tadi?"

"Iya. Mana?" Aku membuka telapak tanganku, meminta.

"Sebentar." Ia merogoh kantung kemeja putihnya yang dekil, lalu pindah merogoh kantong celananya yang tinggi sebelah. Tapi akhirnya, ia malah mengedikan bahu.

"Kamu ini!" Kujitak kepalanya. Walaupun itu hanya seribu rupiah bagi orang-orang di luar sana, bagi kami itu mahal. Apa yang bisa diharapkan dari gelandangan seperti kami selain mendapatkan uang receh?

Beberapa menit tanpa mengobrol, Ara menarik ujung kaosku. Ia memperingati akan adanya seseorang yang bergigi tonggos sedang nongkrong di trotoar bersama pedagang kaki lima. Kami mutar jalur. Bisa mati kalau lewat sana sebab kami pernah makan tanpa bayar di wartegnya.

Monster Sore [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now