6. Obat Sebuah Penyakit

50.5K 7.4K 920
                                    

Bagian Enam

Jika memang tidak pantas untuk disatukan, lantas mengapa kita dipertemukan?

—Pull String—

"Lo benaran nggak mau ikut?"

Wira menatapku, tangannya terulur memberikan segelas air putih yang tadi dia bawa. Aku menggeleng lemah, sambil mengambil gelas yang ia berikan.

"Gue mau istirahat aja."

"Nggak mau ke dokter?" Wira tampaknya hobi sekali mengulang-ulang sesuatu. Seperti pertanyaan ini sudah tiga kali ia tanyakan sejak aku mengatakan tidak ikut ke Uluwatu. Jadi, sehari setelah pernikahan Mbak Rania, semua keluarga Wira memilih untuk berlibur di Uluwatu. Aku sendiri sebenarnya antusias ingin ikut, lagipula aku sudah malas di hotel sejak kemarin. Tapi sejak tadi pagi, aku mendadak sakit kepala dan ingin beristirahat saja.

Wira mendesah.

"Lo pergi aja duluan, entar gue nyusul kok ke Uluwatunya. Lagipula, lo mungkin perlu family time gitu kan. Biarin aja, gue nggak apa-apa. Penyakit gini doang, dibawa tidur langsung hilang."

Kalimat yang kupilih, tidak membuat Wira mengubah pikiran. Ia tetap setia duduk di pinggiran ranjang kamar hotelku sambil sesekali melirikku dengan ekspresi khawatir. Ya aku rasa... Sebelum suaranya kembali terdengar.  "Makanya gue bilang semalam nggak usah minum, masih aja minum. Lo tuh kalau mau ngelakuin sesuatu, dipikir dong."

Dan yap. Aku sudah berekspektasi, Wira akan menyanyangiku hari ini—eh, maksudnya di sini, ya intinya dia bersikap manislah ketika melihat kondisiku yang terkapar di atas tempat tidur seperti ini. Tapi sayangnya, ekspektasiku hancur lebur, Wira tetaplah Wira yang hobi mengomel. Dia ini mirip banget sama bunda, nggak salah deh bunda suka sama dia.

"Iya, Kanjeng gusti, Ndoro Agung. Maafin," timpalku.

Wira berdecak tidak suka. "Dibilangi ngeyel, diceramahi malah ngeledek."

Aku yang sudah lelah mendengar omelannya, memilih untuk mengangkat selimut lebih tinggi. Siap terbang ke dalam dunia mimpiku, membiarkan Wira akhirnya lelah sendiri dan memilih pergi. Lagipula dia sih, sudah dibilang aku bisa sendiri tapi tetap saja sok baik dengan mengurusiku sejak pagi tadi.

Ew. Dasar sok baik.

Mungkin karena tindakanku yang secara tidak langsung mengusirnya, Wira bangkit dari posisi duduknya. Sempat aku mendengar dia menghela napas panjang. Lalu sebelum benar-benar beranjak, dia berkata.

"Kalau ada apa-apa telepon aja. Kalau mau makan dan minum, tinggal reservasi hotel aja. Nggak usah makan di luar, terus kalau sampe sore kondisi lo masih begini... telpon gue, entar gue balik ke sini sambil bawa dokter."

Dan setelah itu, dia berangsur menjauh dan pergi dari kamar hotelku. Aku dapat mendengar bunyi pintu yang ditutup.

Barulah setelah itu, aku membuka selimut yang tadi kugunakan untuk menutup semua wajahku. Aku memonyongkan bibir, seraya memutar mata—malas mendengar ocehannya. Lagipula orang sakit bukannya di manja-manja, malah diomelin panjang kali lebar. Dasar tidak pengertian.

Pantas saja, Wira dijodohin.. toh sifatnya itu, mengerikan. Yang ada bukannya jatuh cinta, perempuan kabur duluan ketika tahu watak aslinya. Nggak banget, dari semua laki-laki yang mampir ke dalam hidupku, Wira  patut dimasukan menjadi pemenang yang paling nggak banget.

Aku memijat pelipisku sebentar, ya semalam aku memang sempat minum, nggak banyak sih. Sumpah. Tapi mana aku tahu, kalau paginya aku malah jadi tidak enak badan seperti ini. Padahal dari semalam aku sudah menyusun agenda akan kemana hari ini.

Pull StringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang