Godam: Musuh dan Pengkhianat

223 20 16
                                    

"Kamu munafik

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kamu munafik."

Siluet wajah  muncul dalam kegelapan, mendekatinya, pelan tapi pasti. Awalnya samar, namun semakin lama semakin jelas.

Rambut panjangnya, kulit kusamnya, lebam di pipinya, sobek di pakaiannya, serta luka yang merajah tubuh sosok itu, semua tampak familier. Sosok bayangan itu persis sekali seperti sosok gadis mungil yang ia tinggalkan lebih dari dua dekade lalu, hanya untuk mencari nasib lebih baik, jauh dari ibukota.

Mata gadis itu menatapnya dengan sorot dingin tak berperasaan. Sorot yang sama sekali belum pernah dilihatnya keluar dari wajah gadis kecil yang bersedia kelaparan hanya agar ia bisa makan.

Mata yang jadi cermin jiwa gadis itu, menunjukkan dunia yang porak poranda, miskin cahaya. Hanya diliputi kehancuran.

Kehancuran yang ia tahu, disebabkan oleh dirinya.

Tiba-tiba saja gadis itu sudah ada di hadapannya. Tangannya yang serupa cakar terulur, mencekik lehernya.

"Pengkhianat...." Gadis itu berbisik lirih kepadanya. Air mata turun dari sepasang mata kelamnya yang diliputi nestapa. "Aku nggak akan pernah maafin kamu, Awang!"

***

"Awang!"

Pemuda itu terbangun dengan tiba-tiba. Bagian depan kepalanya terantuk pipa piston. Ia mengaduh.

"Mau tidur sampai kapan?" Teguran bernada keras yang sama sekali lagi menegurnya. Kali ini disertai tangan yang menepuk-nepuk keras bahunya, menarik-naik kausnya.

Pemuda itu melongok ke ballik bahunya. Tangan kotor penuh oli itu masih berusaha menariknya. "Mau sampai kapan lo tidur terus? Itu bos baru katanya mau masuk pabrik!"

Awang segera menarik tubuhnya di papan luncur dan keluar dari kolong truk. Menghadap seorang pria berseragam bitu dongker. Tubuh pria paruh baya itu tambun, dengan perut setengah buncit. Kumis tipisnya terciprat oli yang menodai separuh wajahnya. Sebelah tangannya memegang tang. Awang yakin tang itu hendak digunakan membangunkannya seandainya ia tidak bangun tadi.

Tidak mau dugaannya jadi nyats, Awang pun berdiri, merenggangkan tubuhnya sedikit. Lalu menoleh ke kanan dan kiri.

"Mana bosnya, Bang Kadir?"
Semuanya kotor. Berlumur oli dan debu. Semua berseragam biru dongker dari tenaga mekanik atau abu-abu dari tenaga supir. Tidak ada orang-orang berpakaian rapih atau ber-vest putih biru seperti kebanyakan orang staff.

"Baru masuk bagian produksi katanya. Siapa tau bentar lagi ke sini!" Pria itu menarik Awang menuju si Butet, truk yang biasa dikemudikannya. "Udah, sono, cepet! Pura-pura sibuk, kek! Apa, kek!"

Tidak menanggapi ocehan itu, Awang berjalan malas ke arah truknya. "Ngapain juga sok sibuk, Pak?" Ia meraih ember dan mengisinya dengan air dan sabun yang disediakan. Matahari masih terlalu tinggi. Masih terlalu dini bagi dia yang shift kedua untuk mulai beraktivitas dan membersihkan truk. "Toh, nggak bakal ke sini juga. Bos mana pernah ada yang ke sini...."

Sands of Time [Short Stories Anthology]Where stories live. Discover now