Lima Belas

868 146 0
                                    

Kami berjalan dan terus berjalan melewati hutan-hutan dengan tumbuhan liar yang tak ada habisnya. Lelah tak menghentikan perjalanan kami. Saat langit mulai malam, kami memasang api unggun dan memasak beberapa makanan. Seperti yang aku bayangkan, Dayne membawa seluruh makanan di tasnya. Bintang-bintang mulai muncul di langit, menambah indahnya suasana malam. Aku tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi aku bersyukur bisa bertemu mereka.

Waktu berlalu dengan cepat. Tiga hari berlalu sejak kami pergi dari rumah. Dan kini, sepertinya kami mulai kelelahan. Aku, Dayne, dan Mark duduk untuk beristirahat sebentar. Sedangkan Ex terus berjalan.

  “Ayolah!” teriak Ex pada aku, Dayne, dan Mark.

  “Sebentar, Ex” jawabku sambil tetap duduk di rumput.

  “Huft,… ya sudah aku jalan sendiri saja” katanya sambil terus berjalan. Tapi belum juga ia berjalan jauh setelah melewati pohon-pohon di ujung sana, ia langsung berlari kembali.

  “Kalian tak akan percaya apa yang aku lihat di balik pepohonan itu!” teriak Ex tiba-tiba.

  “Apa?” tanya Mark.

  “Kota!!” teriak Ex membuat kami kaget. Aku, Dayne, dan Mark pun otomatis berdiri.

  “Serius?!” teriakku. Sudah berapa jauh aku berjalan?

  “Iya!” kata Ex sambil berlari disusul oleh aku, Dayne, dan Mark.

Setelah melewati pepohonan, mataku terbelalak. Ya! Itu kota! Beberapa pabrik yang terlihat tua dan tak terurus, aspal yang berlubang, rumah-rumah berjajar yang sepertinya sudah tak ditinggali dengan kaca jendela yang pecah dan genteng yang mulai berjatuhan, dan jalanan yang lenggang dan sepi. Kemana semua orang? Apakah semua orang disini sudah berubah menjadi zombie?

Kami berjalan di aspal yang penuh lubang itu, melihat ke kanan dan ke kiri. Pabrik-pabrik masih mengeluarkan asap entah apa penyebabnya. Keadaan jalan yang kacau balau dipenuhi oleh kendaraan-kendaraan yang rusak dan tak tertata. Seburuk inikah keadaan kota saat virus zombie menyebar?

Saat sampai di salah satu pertigaan jalan, aku melihat gedung pencakar langit yang sudah kacau balau. Kaca-kacanya hancur dan pecah. Salah satu bagian bahkan terlihat mengeluarkan api. Namun lebih parahnya lagi, zombie-zombie mulai keluar dari sana. Membuat kami harus ekstra hati-hati agar tak ada zombie yang menyadari keberadaan kami.

  “Dayne, kau maju duluan” kata Mark sambil berbisik.

  “El dan Ex, kau berjalan di belakang Dayne. Aku akan jadi yang paling belakang” kata Mark masih berbisik.

Kami pun berjalan mengendap-endap, melewati sela-sela bangunan agar zombie itu menyadari kami. Namun, toko ini dengan bangunan selanjutnya cukup jauh. Membuat kami harus mengendap-endap dengan senyap satu persatu.

  “Dayne. Kau duluan” kataku berbisik. Ia pun mengangguk dan mulai mengendap-endap ke bangunan selanjutnya.

  “Giliranku. Doakan aku, Ex” kataku sambil berbisik padanya.

  “Semangat, Mam!” kata Ex berbisik.

Aku pun membenarkan kacamataku dan berjalan dengan sangat cepat sambil berusaha semaksimal mungkin agar tak menimbulkan suara yang dapat menarik perhatian zombie-zombie itu padaku. Jujur, aku sendiri tak yakin apakah kami berempat bisa melawan zombie-zombie yang sangat banyak itu. mereka berekeliaran tanpa arah di aspal setelah keluar dari gedung besar itu. Dan sekitar 40 zombie ke atas itu baru yang terlihat. Kami tak tahu apakah masih banyak zombie yang berada dalam gedung-gedung lainnya. Aku menahan nafasku sebisa mungkin, dan akhirnya aku sampai di belakang bangunan berikutnya, ikut bersembunyi bersama Dayne.

Kini giliran Ex yang menyebrang. Aku memberi kode padanya lewat jari tanganku.

  “3…”
  “2…
Belum selesai aku memberi kode angka, ia sudah lari menghampiriku. Entah bagaimana caranya, tapi ia benar-benar cepat dan tak bersuara. Hanya dalam hitungan 2 detik, ia sudah sampai. Mungkin itu tindakan yang cukup ceroboh, tapi aku tak akan menyangkal kalau ia keren.

Yang terakhir adalah giliran Mark untuk menyebrang ke belakang bangunan ini, tempat dimana aku, Ex, dan Dayne bersembunyi dari zombie itu. Ia mulai berancang-ancang, memasang satu kaki kiri di depan untuk siap berlari kesini. Entah ia termotivasi oleh Ex atau bagaimana, bahkan sebelum aku memberi kode pun ia sudah berlari.

  “BRUGH!” aku tak tahu ini kesialan level berapa atau memang ia banyak membuat dosa, Mark terjatuh tepat di tengah-tengah, diantara toko awal dan bangunan dimana kami berada.

Zombie-zombie itu melirik ke arah kami dan menghampiri kami dengan cepat. Saat otak kami masih berpikir untuk melawannya atau berlari, tubuh kami sudah reflek lebih cepat untuk berlari meninggalkan zombie-zombie itu. Dikejar zombie di kota jauh berbeda dengan dikejar zombie di hutan. Maksudku, kalau aku dikejar zombie di hutan, aku bisa pergi kemana pun aku mau. Ke kanan, ke kiri, menabrak pohon-pohon lebat, melewati semak-semak, bersembunyi dan terlindungi oleh alam. Sedangkan di kota? Hanya jalanan aspal dan bangunan-bangunan. Aku tak bisa sembarangan bersembunyi di gedung-gedung yang bahkan aku sendiri pun tak tahu apakah ada zombie di dalamnya. Singkatnya, situasi ini, dikejar zombie di kota menambah tingkat kesulitan kami untuk menghindari mereka.

Kami berlari dan terus berlari sekuat tenaga, menghindari zombie-zombie yang berada di belakang kami. Raungan zombie-zombie itu menarik perhatian zombie-zombie lainnya yang berada di dalam gedung, membuat mereka semua keluar dan ikut mengejar kami. Walau nafas kami sudah terengah-engah, kami tetap berlari, mengikuti jalur aspal yang seakan tiada habisnya.

Dan,… kesialan menimpa kami. Kami terhenti pada perempatan jalan, disusul oleh zombie-zombie yang datang dari setiap jalurnya. Kepalaku sibuk menengok ke kanan dan ke kiri, melihat jalanan yang dipenuhi zombie, sedangkan kami berempat terjebak di tengah-tengah. Kami saling membelakangi satu sama lain. Aku menghadap ke arah sekumpulan zombie yang ada di jalur utara dan Ex kebalikannya. Sedangkan Dayne menghadap ke sekumpulan zombie yang ada di jalur barat, dan Mark sebaliknya. Bukan, bukan 50, bukan 60. Kemungkinan total zombie yang menghampiri kami dari berbagai arah ada sekitar 100 lebih. 120? 130? Aku tak tahu tepatnya berapa.

Life in Death : Re-50.yearsWhere stories live. Discover now