1. Putus?

6.8K 813 39
                                    

1998

     Siang itu begitu terik. Matahari terasa seolah ingin memanggang seluruh kota Jakarta, membuat insan enggan beranjak keluar dari naungan atap. Padahal adzan Dzuhur telah nyaring berkumandang.

Seorang mahasiswa berjalan dengan gontai di tengah teriknya sang surya. Peluh membasahi keningnya dan sedikit mulai mengalir ke pipi. Wajah itu menunjukkan ekspresi yang kalut.

“Kusut amat itu muka, neng?”

Pemuda mungil tadi tersentak lantas menoleh ke arah sumber suara. Wajahnya tertekuk, menatap kesal pemuda lain yang mengagetkannya.

“Apa sih, Jaemin! Jangan ngagetin begitu.”

Yang dibentak hanya tertawa puas. Ia mencoba menyamakan langkah pemuda mungil.

“Habisnya muka lo masem bener, Renjun!”

Renjun mengerutkan dahinya. “Apa sih, kirain teh ada yang penting,” tandasnya.

“Ada kok, ada!” Tukas Jaemin.

Kunaon?”

Speak Jakarta please!

Renjun tergelak. “Iya deh, iya. Kenapa?”

“Si Jeno mana? Ini gue mau ngebahas soal kegiatan mapras.” Jaemin bertanya ringan.

Namun efeknya bagi Renjun Wicaksono begitu dahsyat. Pemuda mungil itu memilih diam.

“Eh? Woy? Kenapa? Kok lo diem aja.” Jaemin mencoba menangkap pandangan Renjun.

“Enggak papa kok.”

“Alaaah! Pasti lo habis berantem ya sama si Jeno?” Tembak Jaemin pede.

Renjun terdiam. Hatinya berdenyut nyeri. Iya, berantem ya? Mereka termasuk jarang bertengkar maupun berdebat.

Beberapa ratus menit yang lalu, Jeno Prasetya Manggala telah memutuskan sepihak hubungan mereka berdua. Ia mengatakan bahwa pemuda itu merasakan dalam hubungan mereka hanya Jeno yang selalu mengambil inisiatif.

Renjun merasa seakan-akan tengah tertimbun puing-puing bangunan. Segala harapannya bersama Jeno, segala mimpinya yang ia bangun bersama pemuda tampan berdarah Jawa itu, hancur mengubur tubuhnya.

Tinggal tambahin batu nisan aja di atasnya, batin Renjun pahit.

“Saya sama Jeno udah putus,” balas Renjun pelan.

Jaemin nyaris memekik. “Apa-apaan?! Kok lo di PHK gitu aja?! Mentang-mentang lagi krismon ya, lagi PHK massal? Pasti si tiang itu kan yang mutusin duluan?” cecar Jaemin padanya.

Renjun menatap Jaemin bingung. “PHK? Kok PHK?”

“PHK itu Putus Hubungan Kekasih!” Ujar Jaemin mantap.

Renjun tertawa kecil. “Aya-aya wae kamu mah.”

Melihat tawa Renjun, Jaemin merasa gemas. Ia lalu mencubit kedua pipi Renjun dan membuat si empunya mengaduh.

“Terus dimana dia sekarang? Mau gue kasih pelajaran. Enak aja nyakitin elo! Gue ga terima!”

“Saya gak tauuu Jaemin... Sakit nih pipi saya!”

Jaemin hanya cengar-cengir sambil melepaskan cubitannya. “Iya deh. I am sorry ya, Renjun mungil. Gue cari Jeno dulu. Habis ini lo ceritain lagi ke gue. Oke? Muah!”

Setelah itu Jaemin melesat berlari menuju parkiran kampus. Renjun hanya mengusap-usap pipinya kesakitan. Bercerita dengan Jaemin membuatnya merasa sedikit lega, walau respon pemuda itu begitu bar-bar.

Renjun lalu meneruskan perjalanannya ke kelas siang ini. Ia membenahkan letak ranselnya. Pikiran pemuda semester 4 itu masih terus melayang kepada ratusan menit lalu, kepada ekspresi wajah Jeno kala itu. Renjun menggelengkan kepalanya kuat. Enyah. Enyah. Enyah.

Setelah sampai ia lalu menghempaskan bokongnya pada kursi. Pada masa seperti ini, ia lega berada pada fakultas yang berbeda dengan sang mantan kekasih. Meski mereka masih satu organisasi.

Lamunan Renjun buyar ketika dosen yang mengajar masuk ke dalam kelas dan kegiatan belajar mengajar pun dimulai.

***

“Woi, Jeno! Oi!”

Jeno tengah bertengger di atas vespanya ketika suara lantang Jaemin memanggil. Jeno yakin seluruh pelataran parkiran dapat mendengar suara lantang itu. Dengan malas Jeno menoleh.

“Kenapa, Jaemin?”

Jaemin yang tengah menatapnya sengit membuat Jeno bingung. Namun, belum sempat pemuda tampan itu bertanya, Jaemin telah terlebih dahulu memukuli helm yang dikenakan Jeno.

“Aw! Aw! Sakit, woy! Kenapa sih?!” tanya Jeno sengit. Kepalanya terasa pening karena helmnya terus dipukuli.

“Lo apain Renjun hah?!” Sembur Jaemin.

“Mana ada gue apa-apain? Ngomong kok ya sembarangan!” Balas Jeno.

Jaemin meneliti wajah Jeno. Pemuda itu nampak lelah. Matanya berair. Ia pun dapat melihat dengan jelas kesedihan pada wajah Jeno.

“Habisnya lo tiba-tiba mutusin gitu. Emang ada apa sih? Ngobras dong, ngobraaaas!”

Ngobras, ngobras lo kira penjahit! Gue lagi pusing gausah lo tambah-tambahin deh.” Jeno bersungut-sungut namun ia juga merasa geli dengan tingkah Jaemin.

“Yaudah deh kita bahas maprasnya nanti aja. Gue cabut dulu.”

“Eh, Jaemin,” panggil Jeno.

Jaemin yang hampir berbalik pun kembali menoleh. “Kenapa Jen?”

Jeno terburu-buru mengaduk isi tasnya dan menyerahkan CD nya The Corrs  kepada Jaemin.

“Nih, punyanya Injun. Kasihin ya kalo lo ketemu.”

“Ogah ah! Kasihin aja sendiri!”

Jeno menahan tangan Jaemin. “Ayo dong... Gue belum bisa ketemu dia langsung. Kok lo tega sih?” Jeno memelas.

Jaemin mendengus lalu merebut CD tersebut dengan cepat. “Makanya ga usah putus! Ya udah, gue cabut dulu, ya. Babay!”

Jeno berteriak. “Makasih banyak ya!”

Jaemin mengacungkan jempolnya dan berjalan keluar area parkir. Jeno membenahi tasnya kembali dan memakainya. Ia mulai menyalakan mesin vespa dan melaju keluar parkiran.

Jeno akan berbohong apabila berkata tidak terus-terusan terbayang wajah sendu Renjun pasca ia memutuskan hubungan. Renjun tampak syok, namun ia mengiyakan keinginannya. Membuat Jeno merasa menyesal.

Saya yang mutusin, saya juga yang menyesal. Sesayang ini saya sama kamu, Renjun. Jeno, Jeno. Dasar bego, batin Jeno miris.

Jeno mencoba mengenyahkan pikiran tentang Renjun. Ia mencoba memikirkan tentang tugas-tugasnya, belum lagi mapras yang akan datang, berhubung sebentar lagi para calon mahasiswa dan mahasiswi—cama dan cami—akan mulai mendaftar di perguruan tinggi mereka.

Dan pemikiran itu sukses membuat Jeno pening, walau setidaknya, ia jadi lupa kepada senyum manis Renjun Wicaksono.


Sesaat sih, nanti malam juga kebayang lagi.

Sama-sama masih sayang kenapa ga CLBK aja sih?

***

HAI GUYS. GIMANA? Jelek ya?!! Tolong komenz, mau lanjut atau g? Kalau g yaudah saya unpub aja gitchuuu.

Akcaya Kama [Jeno x Renjun]Where stories live. Discover now