PROLOGUE

2.6K 168 12
                                    

Galina Sachi Riyad

Saat ini gue sedang duduk sendirian di Family Mart, menunggu salah satu sahabat gue yang tidak kunjung datang sejak jam 3 sore sambil memakan pao taosa dan tentu saja tidak ketinggalan bobba milktea kesayangan gue.

Berkali-kali gue menolehkan kepala ke area parkir setiap ada kendaraan yang baru saja tiba, berkali-kali juga gue kecewa karena itu bukan sahabat gue.

Sahabat gue ini memang sudah terbiasa seperti ini sejak dulu. Bilangnya on the way tapi kenyataannya baru mau mandi. Ya iya sih benar on the way, tapi kan ke kamar mandi bukan ke tempat janjian.

Dia merupakan satu dari dua sahabat yang gue punya sejak jaman SMA. Sahabat gue yang paling gabut sejagat raya yang suka banget mengajak gue jajan ke sana ke mari naik motor andalannya. Sampai pernah waktu itu kita makan di Fat Bubble satu mangkok berdua. Kurang malu-maluin apa lagi coba?

Dan karena hal itu kita berdua menjadi lebih dekat. Gue tahu segala baik dan buruknya dia. Begitupun dengan dia yang tahu segala baik dan buruknya gue.

Gue menoleh lagi keluar. Mungkin karena gue terlalu asik menikmati makanan di hadapan gue, gue menjadi tidak sadar kalau di luar sana ternyata sudah hujan. Salah satu hal yang paling gue sukai di dunia.

Gue juga tidak tahu kenapa gue bisa sesuka itu dengan yang namanya hujan. Gue hanya merasa, ketika hujan turun seluruh perasaan sedih gue bisa ikut mengalir jauh terbawa oleh air hujan. Sehingga gue tidak lagi terbebani oleh perasaan itu.

Tapi sepertinya, saat ini hujan belum bisa membawa perasaan sedih gue menjauh. Gue masih merasakannya hingga saat ini. Perasaan ini juga yang menjadi alasan gue pergi ke sini hari ini untuk bertemu dengan sahabat gue.

Gue sedih. Teramat sedih.

"Heh, bengong aja! Ngelamun jorok ya lo?"

Suara itu membuat gue menoleh. Akhirnya orang yang sedaritadi gue tunggu datang juga.

Gue menghela nafas sebelum akhirnya menjawab, "Sialan! Lagian lo lama banget sih, Mi. Liat nih udah jam empat kurang sepuluh. Ngapain dulu coba?" omel gue.

"Hehehe.. kan ini hari libur, Gi. Jadi gue belom mandi dari pagi terus rapihin rumah sebentar biar nanti pas pulang udah tinggal tidur aja gue nya. Sorry ya, Gi."

Gue mengangguk, "Yang penting lo dateng deh. Gue lagi butuh temen banget soalnya, Mi."

"Yaudah, kalo gitu gue beli minuman dulu deh. Minuman lo juga kan udah---"

"Mi, temenin gue ke nikahannya dia ya? Please..."

Gue mengeluarkan undangan berwarna maroon dengan tinta emas yang gue terima kemarin malam saat gue baru balik dari tempat konveksi.

Mia terdiam. Terlihat jelas jika dia sebenarnya juga terkejut. Mungkin dia pikir omongan gue setahun yang lalu tentang orang itu hanya bercanda. Gue juga berharapnya seperti itu. Tapi kan kenyataan tidak selalu berjalan seperti apa yang diharapkan.

"Gi.."

Nawasena Rajendra Masoud

Gue tidak bisa konsentrasi sama sekali hari ini. Pekerjaan kantor yang seharusnya gue kerjakan di rumah terbengkalai. Pikiran gue melayang kemana juga gue tidak tahu. Maka dari itu, daripada semuanya berantakan gue memilih untuk berhenti melakukan apapun.

Benar memang ketika gue mengatakan bahwa gue sudah menerima ini semua. Gue juga sudah berbaikan dengan Mas Seva. Tapi tetap saja seperti ada sesuatu yang mengganjal yang akhirnya membuat gue sesak nafas.

Tidak seperti itu, gue tidak sesak nafas dalam arti yang sebenarnya. Itu hanya perumpamaan. Lagipula gue juga tidak memiliki riwayat penyakit yang bisa membuat gue sesak nafas. Jadi kalian tidak perlu khawatir.

Tapi gue jadi kepikiran, apa ini semua karena gue sebenarnya belum benar-benar ikhlas makanya gue jadi merasakan sesak seperti ini? Masuk akal juga sih.

Lagipula merelakan orang yang lo suka sejak lama kan tidak mudah. Ibarat lo sudah mengharapkan dia untuk selalu ada bersama lo hingga di masa depan, tapi kenyataan yang terjadi adalah dia yang lo harapkan, besok akan berubah status menjadi kakak ipar lo bukan ibu dari anak-anak lo kelak. Menyedihkan banget sih lo, Sen.

"Woi, Sena! Mau sampai kapan lo ngelamun dan mengabaikan keberadaan mahkluk suci kayak gue?"

Gue tersadar dari lamunan gue dan langsung melihat kearah sofa yang ada di pojok kamar.

Di sana ada salah satu sahabat terbaik yang gue punya. Gue juga tidak mengerti kenapa gue bisa berteman dengan orang seperti dia, orang yang pecicilan dan tidak tahu malu. Sungguh berbeda dengan gue yang tampan dan rupawan ini. Gue tidak sedang membanggakan diri, tapi memang begitu kenyataannya.

"Lo ngapain sih ngagetin aja?" gue melempar muka songongnya menggunakan bantal yang ada di atas kasur.

Iya, gue sedang duduk di atas kasur saat ini. Mau melakukan apa juga bingung karena di rumah gue sedang ramai oleh keluarga besar. Lagipula kalau gue turun pun, yang ada gue malah akan diledekin terus oleh sepupu gue yang bernama Tristan. Jadi ya sudah akan lebih baik jika gue pura-pura tidur aja di kamar.

"Halah.. sok-sokan kaget lo. Udah deh mendingan kita main kemana kek gitu, Sen. Capek gue ngeliat lo galau kayak gini," seonggok daging yang menglaim dirinya sebagai manusia suci itu berjalan ke arah kasur dan duduk di hadapan gue.

"Gue ngomong serius nih sama lo. Stop doing this, Sen. Gue sama yang lain juga sedih ngeliat lo kayak gini. Gue tau lo sakit hati, tapi gak ada gunanya juga kan? Lebih baik lo bangkit dari rasa sakit hati itu dan mulai menerima keaadan. Karena besok dihari bahagia kakak lo, gue pengen lo juga bahagia, Sen. Lo ngerti kan?"

Bian bilang dia ingin gue untuk bahagia. Gue melihat genggamaan tangan gue. Gue lupa kapan terkahir kali gue bahagia. Bahagia seperti jauh dari hidup gue beberapa tahun belakangan ini.

Gue menoleh dan menatap lurus ke meja nakas, tempat foto gue bersama kakak gue dan perempuan itu berada.

Gue harus bahagia.

-----------

This is my very first story.
Hope you'll like it. XO

matcharene

LE COEUR BRISÉWhere stories live. Discover now