"Aku sungguh tak punya waktu untuk hal-hal seperti ini,"
Baiklah, sebentar saja. Namaku Awan. Nama lengkap? Entahlah, panggil saja aku begitu. Usiaku enam belas tahun.
"Bukankah singkat saja? Haruskah sedetail itu? Aku benar-benar tak terbiasa seperti ini,"
Urusan sekolah? Sungguh membuatku muak. Aku hanya seorang siswa kelas sepuluh biasa yang tak punya cerita spesial yang bisa kuceritakan pada kalian. Teman? Tidak punya. Tidak ada yang ingin berteman denganku. Melihatku saja mungkin sudah membuat mereka menghindar. Tidak ramah, tidak tampan, tidak pintar, juga tidak kaya. Nilai merah? iya. Berkelahi? Sering. Surat teguran? Punya banyak. Lagipula, aku tidak butuh teman. Aku tak butuh seseorang yang hanya minta didengarkan curhatnya. Lalu pergi seenaknya ketika dibutuhkan. Sungguh hanya merepotkan.
"Keluarga?"
Tidak punya. Bukankah sudah kukatakan aku tidak punya apa-apa? Sudahlah, jangan paksa aku untuk menceritakannya.
"Tari? Oh, yang pecicilan itu?"
Kenal. Oh, bukan. Hanya sekedar tahu orangnya saja. Bahkan di sekolah, siapa sih yang tidak kenal dengannya? Dia sudah viral semenjak hari pertama. Membuat gaduh seantero sekolah. Padahal orangnya biasa saja. Tidak cantik, tidak anggun, dan tidak pintar. Kurang lebih nasibnya sama sepertiku. Ah, mungkin lebih baik dariku. Setidaknya dia berasal dari keluarga hebat, dan nilainya tidak semenyedihkan nilaiku.
Kejadian itu? Aku? Dia juga menceritakannya?
Baiklah kuakui, itu aku. Kalian boleh menyebutku gila, kurang kerjaan, cari sensasi, atau apalah itu. Terserah saja. Seluruh sekolah juga sudah menyebutku begitu. Setidaknya aku melakukannya bukan tanpa tujuan. Kalian tidak perlu tahu sekarang. Kalau sudah waktunya, akan kuceritakan.
Aku? Menyukai Tari?
Sudah kubilang, aku tidak mengenalnya. Omong kosong aku suka padanya. Tari itu hanya... targetku. Dia yang memintaku. Bagaimana mungkin aku menolaknya? Dia yang telah menyelamatkanku. Ah, akhirnya kuceritakan juga.
Karenanya, aku bisa bertahan hidup. Karenanya, aku bisa seperti ini. Tidak luntang-lantung di jalanan. Setidaknya, punya tujuan hidup. Tolong jangan bertanya tentang Dia. Kumohon.
Tari? Tentang dia lagi? Keluarganya?
Biarkan kuhela nafasku dulu.
Memang benar, aku tidak mengenalnya. Tapi, aku tak mungkin melakukannya tanpa mencari tahu?
Ibunya seorang peneliti, ayahnya seorang jaksa. Dia merupakan anak tunggal, aku tahu itu. Tentu saja dari dia. Kupikir dia pasti seorang yang pintar dan berkelas. Maka kuubah tampilanku menjadi siswa teladan.
Sayangnya, penampilannya sungguh menipu.
Sesaat kupikir rencanaku berhasil. Tak kusangka, ia merupakan orang terjahil di kelas. Tak peduli suara cekikikannya terdengar seluruh kelas, menendang bokong teman sendiri, menggaruk kepalanya ketika menjawab soal termudah di papan tulis. Masa bodoh soal pencitraan. Masa bodoh soal membawa nama keluarga.
Baru kali ini aku salah besar.
Siapa aku sebenarnya?
Kalian tidak perlu tahu. Dengarkan saja.
Ikuti alurnya, dan kalian akan tahu.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Terima kasih buat yang sudah baca sampai sini :) Aku sangat menghargai jika sekiranya ada yang berkenan memberikan kritik dan saran.
I really appreciate it, guys.
Kisah ini tentunya jauh dari kata selesai.
10 like saja atau 5 komentar saja, part selanjutnya akan ku-update.
Terima kasih :)
Fah, Your Sky.
YOU ARE READING
The Moon in Your Eyes
Teen FictionKita memang tak pernah bisa menduga bagaimana dan dengan siapa akan jatuh cinta. Seperti dia yang tak pernah menyangka akan jatuh cinta pada seseorang. Seseorang yang bisa membuatnya tertawa bahagia sekaligus bergemuruh menahan dendam. Seseorang yan...