12

1.1K 145 59
                                    






"Taehyung-ah!"

Lelaki itu segera berjalan menghampiri seseorang yang memanggilnya. Omong-omong, Taehyung pulang ke kampung halamannya mulai dari dua hari yang lalu. Ibunya meminta untuk pulang, karena ada sesuatu yang perlu dibicarakan.

Setelah tiba di hadapan sang Ibu, ia pun duduk. Ada Ayahnya juga di sana, dan seperti biasa—tatapan Taehyung terlihat tegas dan berbeda sendiri dari yang lain.

"Kapan kau akan menikah?"

Lelaki tampan itu menoleh ketika suara pertanyaan sang Ayah ia dengar. Kedua orang tuanya tampak menanti jawabannya, sedangkan ia tahu respon mereka nanti akan seperti apa. Taehyung membuang napas pelan, lalu mengalihkan wajah.

"Kenapa tidak menjawab? Kau ragu karena takut Ibu akan mengolok kekasihmu, 'kan?"

Menoleh. Taehyung menatap tajam, serta dingin. Sementara sang Ibu tersenyum kecil seolah ia meremehkan. "Taehyung-ah, entah apa yang kau lihat dari Kim Hana. Kau berpacaran dengannya begitu lama, dan Ibu tidak percaya kalian mampu bertahan sejauh ini. Apakah dia begitu istimewa hingga kau tak ingin untuk melepaskan dia?" tanyanya. Sungguh, kalimat Ibunya sedikit membuat Taehyung kesal. Tak bisa satu kali saja Ibunya itu tidak mengatakan hal menjengkelkan seperti ini kepada Taehyung—tapi sepertinya ia tak bisa.

"Ayah tidak masalah dengan siapa kau menikah, asalkan dia bisa membuatmu bahagia dan tenang berada di sampingnya. Perjuangkan kekasihmu itu. Cepat nikahi dia jika perlu!"

Taehyung menahan senyum. Ia melihat sang Ayah tampak serius dengan ucapannya baru saja. Taehyung sendiri tak percaya jika ternyata, Ayahnya itu mendukung dia—bahkan meminta untuk segera menikah.

Sementara sang Ibu, ia sangat tidak suka dengan ucapan suaminya. Aneh saja bahwa ia begitu mendukung hubungan putranya dengan Kim Hana. Mereka tahu Hana itu hanya karyawan kantor. Mereka juga tahu orang tua Hana bekerja apa.

Sebenarnya, ekonomi suatu pihak—tidak bisa menjadi alasan untuk menolak ikatan pernikahan. Mau sekaya apa, semiskin apa—itu tidak berpengaruh. Lebih parahnya lagi, banyak yang berkata untuk memperbaiki derajat. Atau sekedar memamerkan nama baru sebagai orang kaya—yang sejujurnya menumpang nama dari menantu maupun besan.

Itu salah. Yang namanya pernikahan, terikat dan terbentuk karena cinta dengan alasan meresmikan hubungan dan melakoni sebuah kewajiban. Bukan tentang pamer harta, menantu, besan atau bahkan pamer kehidupan anyar. Golongan manusia yang seperti itu, sudah bisa dipastikan menganggap pernikahan hanya untuk memperbaiki keadaan. Faktanya, banyak orang menikah dengan alasan harta dan bukan karena cinta.

Jadi, benar. Manusia memang munafik. Separuhnya hanya pura-pura untuk mendapat pujian kosong demi menyenangkan perasaan pribadi. Mereka rela dan suka dihina di dalam hati. Tak apa, asalkan dalam lisan mereka berkata bahwa orang itu sudah berbeda sekarang.

Miris.






=====


Seokjin pergi ke ruang CCTV untuk melihat kejadian beberapa waktu lalu. Ia tak percaya jika pot itu jatuh sendiri, atau tersenggol orang lain. Karena letak pot tersebut ada di tengah dan memiliki pembatas agar tidak jatuh. Seokjin sempat berpikir adanya orang jahat yang ingin mencelakai Hana, dan itu memang benar. Namun, ia belum tahu siapa dia dan apa masalahnya hingga melakukan tindakan ini.

"Siapa wanita itu?" Seokjin bertanya ketika rekaman dari kamera depan diputar. Ia melihat wanita dengan coat cokelatnya sedang masuk ke loby kantor. Wanita yang tak lain adalah Hwayoung itu, berjalan santai tanpa peduli dengan tatapan orang-orang yang menganggap dia asing.

P O T R E T - TAMAT✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang