BAB 1 -- The Beginning

127K 5.7K 142
                                    

What if we were made for each other
Born to become best friends and lovers
I want to stay right here
In this moment with you
Over and over and over again

(Colbie Caillat - What If)

*****

DESYA

Kakiku berjalan cepat mengitari kamar. Mencari keberadaan powerbank yang entah ku taruh di mana semalam. Belum lagi dari tadi ponselku terus berbunyi. Pagi yang sibuk di hari senin seperti biasanya. Hingga pada akhirnya aku berhasil menemukan powerbank tersebut berada di meja, dalam tumpukan buku-buku.

Buru-buru aku meraih ponsel di atas tempat tidur yang berdering tiada henti sejak tadi. Saat aku mencoba melihat siapa pelakunya, aku tidak kaget mendapati nama Deon yang berada di layar. Sahabatku itu memang hobi sekali menerorku setiap pagi hanya untuk membangunkanku. Tapi, kalau dia menelpon lagi di jam yang tidak seharusnya, pasti dia mau memberi banyak alasan untuk mangkir mengantarku ke kafe.

Menyebalkan.

"Halo," sapaku padanya sembari mengenakan sepatu converse-ku.

"Sya, sori."

"Kenapa lagi?" gerutuku tanpa sadar.

"Rapat mendadak pagi ini. Gue nggak bisa anterin lo, sori ya."

Suaranya terdengar menyesal, membuatku hanya bisa menghela nafas dalam. Mau bagaimana lagi, bukan kuasa Deon kalau tiba-tiba dia ada rapat mendadak. Lagipula aku kan cuma sahabat dia. Aku bukan sebuah prioritas yang mengharuskan Deon untuk selalu mengantar jemputku setiap harinya. Hanya kebetulan saja rumah kami bersebelahan, arah kantor dia dengan kafeku se-arah, kenapa tidak bareng saja?

Minggu pertama menggunakan mobilnya. Minggu kedua menggunakan mobilku dengan tetap dia yang menyetir. Begitu seterusnya, bergantian setiap minggunya. Aku ataupun dia berfikir bahwa cara ini dapat menghemat biaya dan juga menghemat waktu, mengingat Deon yang super sibuk.

"Iya. Santai kali, Yon. Semangat deh rapat pagi-paginya."

"Bareng bokap lo aja. Tapi kalau bokap nggak bisa, nanti gue pesanin taksi online. Free. Kabarin aja kalau lo sudah siap. Nggak enak gue batalin mulu. Ya udah, lo juga semangat. Bye."

"Bye."

Telepon segera dia tutup begitu saja. Aku menghela nafas dalam dengan masih tetap menatap layar ponsel. Padahal ini bukan sekali atau dua kalinya dia membatalkan janji, tapi entah mengapa efek kecewa itu selalu muncul setiap kali dia melakukannya. Tapi setidaknya pagi ini aku tidak harus mengeluarkan ongkos untuk pergi ke kafe.

Buru-buru aku menepis perasaan itu dan bergegas meraih tas tangan. Sekali lagi aku memeriksa isi tas tepat di depan kamar, powerbank ada, kacamata ada, blocknote ada, beberapa alat tulis ada, apa ya yang kurang. Astaga, ponsel ke mana lagi. Refleks aku membalikkan badan untuk mencari keberadaan ponselku. Kebiasaan kalau sedang tergesa-gesa ditambah kesal pagi-pagi, semua barang pasti ketinggalan. Dengan cepat aku meraih ponsel di atas tempat tidur dan kumasukkan ke dalam tas. Bergegas aku berjalan menuruni tangga menuju dapur.

Kedua orang tuaku ternyata sudah duduk manis di meja makan. Papi berada di ujung meja dengan tangan memegang koran pagi, kacamata bacanya bertengger di wajahnya. Sedangkan Mami sibuk menata sarapan di meja makan.

"Pagi, Pi, Mi," sapaku.

Aku memberikan sebuah kecupan pada keduanya, baru duduk di sebrang Mami. Tanganku dengan sigap meraih gelas susu yang disodorkan oleh Mami. Kata Mami diumurku yang sudah hampir menginjak kepala tiga, aku harus tetap minum susu. Biar nanti nggak osteoporis atau sebenarnya Mami kebanyakan kemakan iklan di televisi?

Over(love)weight (PRE-ORDER)Where stories live. Discover now