15. Bitch

4.6K 833 452
                                    

Taehyung nyaris gila ketika Kara mulai menghindarinya sejak malam itu, terlebih lagi benar ia pun putuskan untuk bungkam lebih lama dan reaksioner lebih cacat. Ia bahkan tak tegur meski rindu pada petala hatinya mulai memakan lebih banyak domisili hingga terasa sesak, bahkan sering mengancam untuk mendobrak keluar-merengkuh Kara atau setidaknya memberikan tubuh kurus itu dua kali bantingan pada lantai agar tidak begitu congak mengabaikan eksistensinya.

Taehyung bukannya bodoh, maka dari itu ia sadar bahwa selama ini dirinya mencintai Kara dengan cara pelunasan afeksi yang begitu sengit. Ia berikan segala perhatiannya dalam konteks paling jahat, dan terus diktatorial. Ya, Taehyung akui itu, tetapi baginya menghadapi Kara memang harus lakukan hal demikian atau segala puing plan yang ia susun dari jauh-jauh hari hanya akan terus menjadi deretan daftar yang tak dapat diaplikasikan. Kara keras, maka Taehyung perlu lampaui gadis itu dengan lebih pongah.

Taehyung sering berpikir bahwa apa yang dilakukannya adalah hal yang salah, tetapi tak lama selepasnya justru bahakkan tawa paling mutlak dan faktual. Taehyung adalah pengecualian kekejian yang paling benar, ia adalah iblis paling etis. Bahkan sekali pun semesta antagonistis, Taehyung akan tetap injak asumsi tersebut keras-keras dan mengesahkan dengan angkuh segala hal yang telah dirinya komidikan semasa ini.

Begitulah, Taehyung adalah kebangsatan yang tak menerima paradoks. Dan Kara adalah budak yang harus menerima perisai paling kuat darinya. Substansinya hidup harus seperti itu, setidaknya bagi Taehyung. Egois? Ia tidak peduli pada konteks-konteks sejenis itu.

Nyaris sepekan terlewati dengan tanpa hitungan hari tetap, keduanya-baik Taehyung sendiri mau pun Kara-memilih untuk bunuh waktu mereka secara personalitas; tidak saling mengganggu, atau pun muntahkan kuriositas masing-masing dengan menelan segalanya pada lambung. Taehyung sendirian obati luka aktualnya yang didapat pada hari senin, sedang Kara memilih mencuci bersih otak hingga steril kembali di dalam bathup dalam waktu yang teramat sialan. Hubungan keduanya dirasa semakin jauh bahkan setelah mengerti endapan afeksi masing-masing.

Semesta memang tidak pernah kehabisan cara untuk fertilkan tambahan kebencian di antara mereka. Begitu pun Taehyung yang semakin gemas ingin pukul tempurung Kara menggunakan batu di taman belakang rumah, atau akan terasa baik jika memutilasinya sekalian.

"Apa lagi yang kau lakukan hingga dapatkan luka ini, hm?" Jukyung oleskan salep dengan pelan, kendati sebenarnya Taehyung tidak keluhkan apa pun apalagi keluarkan ringisan menjijikkan.

Taehyung tidak meminta tandangan seperti ini dari Jukyung, tetapi rupanya gadis tersebut tidak kekurangan alasan untuk jumpainya kapan pun saja. Maka di sinilah mereka sekarang, di dalam hampa rumah yang biasa Taehyung jadikan ruang kerja pribadi, meski akan lebih cocok jika dikatakan sebagai perpustakaan lelap. Di ruang itu pula ia sering siksa Kara dengan penuh cara, dan malam ini lelaki tersebut begitu benci ruangan dingin dan senyap ini. Mengapa ia selalu lakukan segala hal di lokasi kesukaannya?

"Kau bahkan tidak pergi mengajar selama sepekan ini. Padahal aku selalu menunggu di kampus," susulnya kemudian.

"Maaf, sedang malas."

"Begitu?" Jukyung naikkan satu alisnya. "Bukan karena ingin memastikan bahwa Kara tidak dapat pergi darimu?"

Taehyung diam pada awalnya, menatap pintu ruangannya lurus-lurus, seakan pastikan lebih dulu bahwa tak ada malaikat baik yang tengah tontoni dirinya diam-diam, atau legakan pikiran bahwa Kara tak ada dibalik pintu untuk dengarkan apa yang terjadi dalam kepengapan ini, ia pastikan tidak ada tusukan dosa pada ambang pintu sebelum daratkan kecupan pada labium lawan bicaranya dengan begitu lembut. "Aku tidak beratkan itu, ada hal yang tak akan pernah bisa menjadi bagian dari ketakutanku."

"Apakah Kara tidak termasuk bagian itu?"

Taehyung statis sejenak, telan saliva yang menumpuk di atas lidah membuat benjol seukuran biji salak yang menumpang gelantung di lehernya bergerak sistematis ke atas dan ke bawah. Mengapa sulit hanya untuk keluarkan suara dari pita jika akhirnya ia katakan juga?

PROTAGONIST Where stories live. Discover now