kematian

526 23 0
                                    

Ayunan kencang membuat benda pipih ini bersuara. Desir angin menembus kulit yang kini tak lagi hangat ataupun dingin. Dua manusia penuh ambisi saling memandang seperti tengah beradu tatap.

Diam. Sesaat kami diam. Tak lama pria jangkung itu berlari ke arahku, menghampiri dengan tangan yang telah erat memegang senjatanya.

Sring!

Tanpa ragu ia meluncurkan tebasan pertamanya. Mudah kuhindari hanya dengan melangkah ke samping. Matanya makin menajam, saat ia tau serangannya tak mampu menggoresku sedikit pun. Ia menyerangku kembali, berturut-turut hingga aku merasakan kewalahan. Sejenak ia berhenti, aku tau ia tak akan menyerah begitu saja.

Tatapannya mengisyaratkan sesuatu. Entah apa itu. Jika aku terus sibuk menebak pikirannya aku rasa tak akan selesai pertarungan ini.

Sekali aku menghela nafas, menutup mata kemudian aku mulai melangkah. Perlahan, setengah berlari hingga berlari kencang menyerangnya.

Tumbang?

Sial!

Sebuah pohon sakura tumbang. Samuraiku malah salah sasaran. Tubuh itu ternyata sangat lihai menghindari tebasanku. Ia tersenyum licik. Membuat darahku mendidih sampai ke ubun-ubun.

"Bantu aku ibu," pekikku pelan, kali ini mengumpulkan seluruh energiku.

Peristiwa ini akan di ingat sebagai hari berdarah. Jika salah satu diantara kami mati, sudah jelas akan lebih banyak lagi pertumpahan darah di sini. Tapi jika kami tak saling bergulat dalam lingkaran dendam, itu hanya akan membuat kematian ibuku terabaikan.

Haruskah dendam ini di bayar oleh kematian kami berdua?

Cleb!

Seketika aku terperenjat kaget. Mataku melebar melihat pemandangan di depanku. Sebuah anak panah meluncur menancap persis di bahu kanan Putra Mahkota.

Terdengar keras tawa yang membuat keadaan makin mencekam.

"Raja Wong?" pekikku tepat setelah menoleh ke belakang.

Dengan tameng dan pakaian bajanya ia berdiri di atas atap. Memasang wajah kejam bak penguasa kegelapan. Kenapa ia harus ikut campur dalam pertarungan kami?

"Tak seharusnya kamu yang membayar semua ini anak muda!" suaranya terdengar lantang.

Putra Mahkota hanya melirik sambil menahan sakit di bagian bahunya. Semenit berlalu, tangan itu rupanya memilih untuk mencabut anak panah yang menancap.

Kulihat Ayahku mengambil anak panah di punggungnya, seperti ingin membidik kembali Putra Mahkota.

"Kumohon, jangan ikut campur!" teriakku, "biarlah kuselesaikan dengan caraku sendiri. "

"Ibumu .... "

"Dendam itu harus dibalas oleh diriku, kamu tak punya hak lagi untuk melakukannya."

Tangannya tak lagi membidik.

"Aku Ayahmu!"

"Kamu memang ayahku, tapi bukan suami ibuku lagi. " tatapanku menajam, "kamu menghianatinya, dengan menikahi wanita lain."

Pupilnya membesar mendengar ucapan anaknya ini. Bisa jadi ucapanku ini terdengar kurang ajar, tapi inilah kenyataannya.

Tak ada pembelaan yang keluar dari mulutnya. Ia diam tak bergeming, seperti mengiyakan ucapanku.

"Hahahaha .... "

Siapa lagi yang datang mencampuri kami?

"Wong! sang ahli pedang, akhirnya kamu muncul juga."

Embrace The KingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang