Side Effect

126 16 3
                                    

Dia itu jahat bagiku, mungkin beberapa menganggap sebaliknya. Buktinya masih ada yang mau berteman dengannya.

Sifatnya jelek, untukku.

Soal visual, yah sebenarnya rata-rata, hanya saja dia jago make up jadi sudah pandai merawat—mempermak—dirinya.

Aku tidak menyalahkan dirinya, semua kesalahannya hampir sudah kulupakan, hanya saja untuk kebaikan diriku sendiri aku berusaha menghindarinya. Guna meminimalisir kebencianku yang timbul saat berinteraksi dengannya.

Dia banyak melakukan kesalahan padaku, sejujurnya. Namun karena aku tipe orang yang kadang mudah melupakan rasa kesal terhadap orang yang menyakitiku seiring berjalannya waktu, aku berusaha lupa rasa sakit yang ia torehkan, tapi aku tidak lupa apa yang dia perbuat saat menorehkan luka itu.

Aku memakluminya. Usianya terpaut lebih tua satu tahun di atasku, meski dia adik kelasku.

Pernah ada yang mengatakan, usia tidak menjamin seberapa tingkat kedewasaanmu. Aku mempercayainya.

Bukannya aku dewasa sekali dibanding yang lainnya. Aku masih kekanakan. Banyak hal yang tidak bisa kukendalikan dan berakhir pada penyesalan, rasa sakit untuk diriku atau orang lain bahkan kerugian orang lain atau diriku.

Namun, dia parah.

Hobinya mencari kesalahan orang lain. Dia suka dengan men-judge negatif , baik ia sengaja atau tidak. Yah, mungkin itu sudah kebiasaan yang mendarah daging hingga menjadi sifatnya yang tidak terpisahkan dari dirinya.

Dia suka memaki, dan membenci orang yang tidak sesuai dengan jalan pikirannya.

Yah, aku malas menjelaskan lebih panjang lagi. Sifat buruknya layaknya tokoh antagonis dalam cerita-cerita.

Sepersekian yang menyebutnya baik. Aku percaya, dia punya sisi baik, sayangnya aku belum melihatnya. Kuharap aku bisa melihat sisi baiknya.

Semoga...

Hari ini kami berangkat purna tugas OSIS, kami ke pantai selama sehari semalam.

Setibanya kami di sana, para cowok lekas mendirikan tenda, dan kami para cewek sibuk menata perbekalan dan bahan makan untuk nanti malam, untuk bakar-bakar tentunya.

Nirwana, ketos baru kami periode 19 ini berpesan, jika malam, jangan pernah teriak-teriak atau berkata yang tidak-tidak. Diusahakan tidak boleh mengumpat. Sewajarnya dan harus menjaga tata krama.

Kami mengangguk paham.

Tapi aku merasa tidak enak.

Mataku langsung memandang ke arahnya, Annisa. Muka songong itu tertawa mengejek entah menertawakan apa yang jelas aku tidak mau peduli padanya.

Menjelang Maghrib, kami yang muslim menggelar tikar di luar tenda. Beberapa sajadah kami tata juga mukenah-mukenah berjejer di atas sajadah.

Kami menuju bibir pantai, mengambil wudhu.

Priya mengumandangkan adzan, sedangkan kami telah siap dengan mukenah dan sarung di atas sajadah. Trio, mulai memanjatkan sholawat pujian sembari  menunggu rekan-rekan yang belum mengambil wudhu.

Sayup-sayup aku mendengar, Nirwana mengingatkan Annisa dan teman-temannya—dalam tanda kurung, kacung-kacungnya—untuk menunaikan ibadah.

"Males, Nir," kata Annisa.

"Anjir... Gak ada lima menit kali, ayo dong, ya?"

"Apaan sih Lo, udah deh. Yang sholat siapa Lo yang heboh."

Mereka bersikeras menolak, bahkan terdengar sedikit cek-cok. Nirwana memilih mengalah saat Indah menepuk bahunya.

"Sudah, Nir..."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 01, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Side EffectWhere stories live. Discover now