Fourty

1.9K 113 33
                                    

Beberapa tahun berlalu.

Banyak hal terjadi pada kami.

Pernikahan karena perjodohan yang dipaksa.

Tidak saling mencintai.

Benci.

Air mata.

Penderitaan.

Masa lalu kelam yang menghantui.

Semua kami lalui.

"Ayah!"

"Hai, jagoan ayah bagaimana sekolahmu?"

"Menyenangkan!"

"Niichan matte huweee"

"Ibu pernah bilang apa soal tidak meninggalkan adikmu?"

"Maaf ibu, habisnya Rumi lamban"

Yah, sampai kami memiliki anak.

Rasanya waktu benar-benar cepat berlalu.

"Hiks niichan hidoi huwee touchan, kaachan"

"Ruri"

"Ukh...gomennacai"

Sifatnya astaga, mirip sekali dengan kami.

Satu cengeng dan satu lagi agak nakal.

"Itu ayah si kembar?"

"Kudengar ayahnya ketua yakuza"

"Itu ibu si kembar? Pasti dia pelacur"

Beberapa orang menghina kami.

"Angan bicala cembalangan! Touchan to kaachan yacachi hits! Huweee, touchan dan kaachan dihina lagi niichan!"

Si adik selalu begini meski cengeng.

"Mulut orang dewaca macam kalian kotor!"

Oh, astaga mulut si kakak ini tajam.

"Ruri, ingat kata ayah soal sopan santun? Ruri, mau ayah hukum?"

"Hii! Tidak ayah! Maafkan aku! Tapi mereka--"

"Ruri sayang, biarkan orang berkata soal apapun tentangmu. Tapi jangan balas dengan kejahatan juga, balas dengan kebaikan atau dengan prestasimu", istriku ini berhati lembut bagai malaikat.

Jangan biarkan dendam menguasaimu.

Kalau tidak mau jadi seperti paman Eric yang sempat dikuasai dendam.

Setelah kejadian itu, Kurouma menemui kami.

Dia bersujud dan terus memohon maaf pada kami.

Dia menyesal, menangisi semua yang dia lakukan.

"Aku memaafkanmu, Kurouma-san", istriku berkata seperti ini.

Dia terlalu baik, meski aku masih tidak percaya sepenuhnya padanya setelah apa yang dia lakukan pada istriku.

Bahkan, dia memeluk orang yang membuatnya trauma tersebut dan menangis untuknya.

Malaikat tanpa sayap yang turun untukku.

Untuk menemaniku.

Untuk melengkapi hidupku.

Membuatku menjadi seperti sekarang.

"Iya, ibu..."

"Anak baik, ayo pulang kamu sudah lapar kan?"

"Kaachan, aku mau makan kue"

"Setelah makan siang ya nak"

"Uhn! Kaachan daisuki!"

Apa aku tidak mendengar perkataan ibu-ibu lambe turah tadi?

Ya, aku dengar semuanya.

Sekali kutatap saja mereka sudah ketakutan.

"Oh, sedang jemput?"

"Paman Erwin!"

"Konnichiwa"

"Sachi neechan!"

"Yo!"

Tatapnya iba ke tangan Erwin yang kini tinggal satu.

"Dia baik-baik saja, [Name]"

"Istrinya?"

"Dia juga sudah membaik sekarang"

Banyak hal terjadi juga padanya.

Musibah yang menimpanya.

Semuanya ia lalui.

Aku belajar darinya, meski aku tidak pernah bilang.

Tentang aku tidak boleh menyerah untuk berharap atas [Name].

Percaya pada [Name].

Dan hal lain.

Hah~

Sialan sekali rasanya.

Tentang perasaanku? Aku tidak pernah bilang pada wanita yang kini menyandang marga Smith itu.

Hilang.

Saat aku tahu, rasanya berbeda saat aku mencintai [Name].

"Levi"

"Hm?"

"Hehe, tidak apa"

Senyumnya sangat manis.

Senyumnya menghangatkanku.

Membuatku merasa hangat.

"Hm, mau otw yang ketiga?"

"Eh!?"

"Aku tidak keberatan nambah lagi"

"Dua sudah cukup membuatku kewalahan, Levi"

"Hm, tapi tidak keberatan kan?"

"Uhm...sa-saat ada luang saja ya?"

"Maksudmu, waktu anak-anak tidur?"

"Mo Levi!"

Aku bahagia denganmu, [Name].

---++++++++-++++(+++(()-----++++---++-----
The end :v

Beneran tamat :v

Terima kasih untuk reader-san tachi sudah komen and vote this ff

See you soon

The Dragon BrideWhere stories live. Discover now