12. Surprise!

33.7K 6.7K 464
                                    


Senja kembali menyuguhkan kepiawaiannya dalam melukis kuas orange pada langit yang semula biru. Membentuk spectrum warna yang begitu elok, ketika silau keemasan berpadu dengan temaram yang pelan-pelan datang. Hingga tak jarang, para perindu yang tak jua menemukan temu, akan duduk bersila di serambi mereka. Memandang dalam syahdu, lalu menitip rindu dari jauh.

Cakra Winara :

Balikin Anin sekarang.

Sebelum gue dateng ke kakek lo

Atau lapor polisi atas tuduhan penganiayaan juga penculikan.

Tangan Affan bersidekap di atas dada sambil menggenggam ponsel, fokusnya mengarah pada ujung cakrawala. Sudah lama rasanya, ia tidak menyaksikan peristiwa tenggelamnya matahari demi menyambut bulan. Banyak orang bilang, rasanya menakjubkan, namun di tengah hatinya yang kalut luar biasa, ternyata rasanya sama sekali tak mengesankan.

Affan mendengkus tanpa sadar. Ia simpan ponselnya ke saku celana, sebelum kemudian melangkah untuk menyalakan penerangan. Duduk di tepi ranjang tempat wanita itu terlelap, Affan tidak tahu harus ia bawa ke mana kegelisahan ini. Fakta mereka masih berada di hotel, cukup membuat persembunyian mereka terasa aman.

Lalu pertanyaannya, sampai kapan?

Ia memiliki pekerjaan, Anin pun sama. Dan jika pulang, mereka harus ke mana?

Ponselnya sendiri tidak begitu bising hari ini. Memang banyak yang menanyakan keberadaannya. Tetapi tidak ada satu pun yang berhasil menebak bahwa keabsenannya ke kantor adalah untuk menikah. Begitu juga dengan kakeknya, yang tadi sempat menghubungi untuk menanyakan keberadaannya. Affan mengangkat semua panggilan masuk agar tak ada yang menaruh curiga. Lalu pada kedua orangtuanya, ia beralasan sedang menemani seorang teman.

Padahal, ia menunggu-nunggu kakeknya berteriak memaki hanya karena akhirnya tahu ke mana ia pergi. Namun, melalui pesan yang dikirimkan oleh si berengsek Cakra, ia akhirnya paham bahwa laki-laki itu tidak mengadukan peristiwa kemarin malam pada Faisal. Hingga kabar mengenai dirinya yang membawa kabur Anin, tidak sampai ke telinga siapa-siapa.

Sambil membaringkan tubuhnya di sebelah wanita itu, Affan menutup mata dengan pikiran tak keruan. Tangannya memijat kening sementara helaannya terdengar kasar.

"Kenapa?"

Seketika saja Affan menoleh. "Kamu udah bangun?"

Anin mengangguk, ia beringsut bangkit untuk duduk. Tak lagi mengenakan pakaian pernikahan, Anin sangat bersyukur karena sekretaris Affan juga memesankan beberapa pakaian santai yang bisa ia gunakan dengan nyaman. "Kenapa?" ia mengulang pertanyaan.

"Nggak apa-apa," Affan mengikuti gerakkan Anin. Ia pun menyandarkan punggung pada headboard ranjang. Memandang diam wanita yang kini resmi telah menjadi istrinya, Affan pandangi Anin lamat-lamat. Wanita itu masih enggan menatap wajahnya. Sedari tadi, terus saja menghindar. "Kamu mau makan di hotel atau mau keluar?"

Mereka tidak melakukan apa pun sebagaimana pengantin baru pada umumnya. Padahal, mereka tiba di hotel ini telah berjam-jam yang lalu. Tidak ada kontak fisik berarti selain bergandengan tangan. Satu-satunya sentuhan yang Affan lakukan selayaknya pasangan yang baru saja berjanji mengarungi bahtera adalah mengecup kening Anin. Affan tidak akan memaksa, ia sangat paham situasi mereka.

"Terserah kamu, Fan. Aku ikut aja."

"Ngomong itu liat orangnya, Nin. Kamu kenapa? Nyesel nikah sama aku?" kini, ia balikkan kata-kata wanita itu tadi.

Dan cara Affan berhasil. Tuduhannya tadi membuat Anin akhirnya menoleh. "Bukannya kamu yang harusnya nyesel, Fan?"

Affan hanya mengedikkan bahu.

Bening Where stories live. Discover now