3. Hope

176 31 1
                                    



Tubuhnya masih terasa sakit saat ia dengar sayup-sayup gerbang yang tertutup di depan sana. Bibirnya yang sempat robek beberapa hari lalu itu pun masih terasa perih dan bengkak. Lebam di pergelangan tangan dan kakinya masih nampak keunguan. Ia tahu setelah mendengar bunyi gerbang yang ditutup dan disusul suara mobil yang perlahan menghilang adalah sebuah pertanda bahwa wanita itu tidak akan pulang dalam beberapa hari ke depan. Ia masih terduduk disana, meringkuk memeluk lutut. Pandangannya masih terasa kabur karena benturan benda tumpul semalam. Tak jelas bagaimana kejadiannya yang terlalu sering itu terjadinya. Hingga rasanya takut untuk kembali ke dalam meski hanya untuk mencari segelas air saja.

Namun entah mengapa ada hal yang membuatnya sedikit merasa lega akhir-akhir ini. Yaitu, bahwa dirinya diakui keberadaannya. Degup jantung dan usapan lembut di punggung itu terasa mahal bagi dirinya. Ia hampir tak pernah melihat siapapun seumur hidupnya selain wanita itu. Seolah hidupnya begitu sempit seperti ruang gudang belakang ini. Ia nyaris tidak pernah berani menginjakkan kakinya keluar balik pintu dihadapannya. Tapi kini, rasa haus dari sentuhan itu menariknya perlahan ke luar untuk melihat dunia lebih luas lagi. Membuatnya lebih berani untuk menaiki tembok tinggi yang ada dihadapannya. Melompat dan mencari kebebasan sejenak.

Park Jinyoung.

Anak laki-laki dengan pipi seperti tupai itu sudah menunggunya disana. Senyumnya lebar dan matanya menyipit saat melihatnya muncul. Namun, senyum itu terkadang hanya bertahan hanya beberapa detik lamanya saat melihat rupa seseorang yang tak sama dengan hari sebelumnya. Jinyoung memanjat kotak kayu di pinggir lapangan dan merengkuh kedua wajah anak laki-laki di depannya dengan paksa.

"Apa yang terjadi lagi?! Sudah kukatakan jika kau tak dapat melawan, cobalah untuk menghindar! Apa kau tuli?!"

Jika boleh jujur, rasa sakit itu tak seberapa penting dibandingkan dengan sebuah harapan. Dan Park Jinyoung memberikan padanya secara cuma-cuma. Bagaimana bisa seseorang dalam sekejap bisa terasa begitu berharga? Bagaimana bisa seseorang dalam sedetik bisa terasa begitu cepat dirindukan? Bagaimana bisa seseorang dalam selintas dapat membuat tersenyum tanpa alasan? Ia tidak tidak mengerti. Rasa ini terlalu asing. Bahkan untuk anak seumurannya. Tapi anehnya, ia menyukai rasa asing itu. Dan membiarkan dirinya hanyut di dalamnya.

"Jaebum-ah! Kau mendengarku?!" tanya Jinyoung lagi, menyadarkannya dari lamunan.

Jaebum mengangguk.

"Kau lapar? Ibu membawakanku bekal makan siang banyak sekali hari ini. Aku tidak dapat menghabiskannya sendiri. Mau makan bersama?"

Jaebum mengangguk lagi.

Jinyoung tersenyum dan membantu Jaebum melewati tembok pembatas yang memisahkan keduanya.

***

Satu pertemuan yang mengantarkan pada pada pertemuan berikutnya membuat keduanya semakin lekat tak terpisahkan. Jaebum seolah menemukan kehidupannya kembali sosok Jinyoung yang dikenalnya. Jinyoung telah mengisi ruang kosong yang tidak dapat dipenuhi Jaebum di rumahnya. Jinyoung yang tak pernah merasa takut untuk menariknya keluar dari lubang hitam putus asa di belakang Jaebum. Hal tersebutlah yang membuat Jaebum nyaman menghabiskan waktu bersama Jinyoung untuk bermain bersama. Genggaman tangan Jinyoung yang begitu erat membuatnya ingin selalu bersama hampir setiap hari selama wanita itu tidak ada di rumahnya.

"Kau tersenyum," ucap Jinyoung saat pada Jaebum yang tengah berbaring di rerumputan lapangan.

Jaebum tidak menjawab apapun. Di satu sisi ia senang bersama Jinyoung, namun di sisi lain ia sedih harus menghadapi kenyataan. Sepertinya Tuhan mempermainkannya sedikit. Memberikan sedikit kebahagiaan untuk kembali dijatuhkan dalam lubang yang sama. Semakin tinggi, maka semakin sakit rasanya. Jaebum membalikkan tubuhnya, menghadapkan punggungnya pada Jinyoung yang sedang menyeruput susu rasa stroberi dalam diam.

"Aku takut," ucap Jaebum lirih yang langsung menarik perhatian Jinyoung.

"Apa yang kau bicarakan? Ibu sudah setuju untuk membantumu keluar dari rumah itu. Meskipun kedua Noona-ku menganggapku sedikit gila karena dia yakin tak pernah melihatmu dimana pun," Jinyoung terkekeh pelan.

"Bagaimana bila sebenarnya aku memang tidak ada?"

"Tidak mungkin!" Jinyoung menarik pundak Jaebum, membuatnya kembali terlentang di atas rerumputan. Membiarkan Jinyoung menangkup ke dua pipinya dalam genggaman tangan. "Lihat! Aku bisa menyentuhmu. Aku tidak mungkin gila."

"Bagaimana bila sebenarnya aku memang hanya bagian dari imajinasimu saja?"

"Kau gila?"

Jaebum menatap anak lelaki yang ada dihadapannya. "Aku pikir, aku sedang bermimpi. Atau pingsan karena pukulan hebat itu merusak isi kepalaku. Aku hanya takut kau tidak benar-benar menjadi temanku."

"Jaebum-ah, aku temanmu. Dan tak akan ada yang berubah dari hal itu sampai kapanpun. Kau akan baik-baik saja. Ayah dan Ibu akan berusaha menyelamatkanmu. Percayalah padaku. Setelah ini, kita akan main bersama tanpa perlu takut lagi. Kau akan menginap di rumahku. Jangan takut, Noona memang sedikit jahil tapi mereka akan menyayangimu sama sepertiku. Percayalah..."

Jaebum menatapnya lagi cukup lama.

"Terima kasih Jinyoung-ah. Aku... Aku menyu-"

Deru sebuah mobil menyela kata-kata Jaebum. Ia mengenal suara mobil itu dengan sangat jelas. Ia terperanjat kaget kemudian melompat melewati Jinyoung dengan cepat menuju tembok yang biasa ia panjat. Namun sesuatu menahan tangannya saat itu. Sebuah genggaman erat tangan Jinyoung dengan wajahnya yang penuh kekhawatiran tak ingin melepas Jaebum begitu saja.

"Jika kau tak bisa melawan, ku mohon untuk menghindar."

Jaebum hanya menatap Jinyoung dalam diam. Melepaskan genggaman pada Jinyoung dan menghilang di balik tembok tersebut.

***

THE ENTROPYWhere stories live. Discover now