Melihat mereka itu, Kao Liang dan Kao Tiong memandang dengan mata terbelalak. Mereka itulah keluarga yang hilang! Dan tidak ada seorang pun yang kurang. Masih lengkap dan kelihatannya memang sehat, sungguh pun di antara mereka ada yang kelihatan pucat dan kurus. Dan biar pun tidak ada yang kelihatan gembira, namun harus diakui bahwa mereka itu selamat dan agaknya kamar besar itu cukup baik, mereka cukup terjamin.
"Ayah...!" Tiba-tiba seorang anak laki-laki berseru dan menuding ke arah Kok Tiong.
Semua orang dalam kamar itu menengok dan terjadilah pemandangan yang amat memilukan. Para wanita itu sejenak memandang dengan mata terbelalak ke arah Kao Liang dan Kao Tiong, seolah-olah tidak percaya, kemudian terdengarlah seruan-seruan mereka memanggil dan tangis mereka riuh-rendah. Mereka semua lari ke ruji-ruji besi, seperti tawanan-tawanan yang melihat keluarga datang berkunjung.
Ban Hwa Sengjin mengembangkan kedua lengannya ketika melihat Kao Liang dan Kok Tiong bergerak hendak maju, sambil berkata, "Cukup sudah untuk membuktikan bahwa keluargamu dalam keadaan selamat, Kao-goanswe." Lalu dia memerintahkan kepada para penjaga, "Tutup kembali pintunya!"
Kao Liang dan Kok Tiong berdiri tegak dengan muka pucat dan mata terbelalak, melihat betapa wajah-wajah orang yang mereka cinta itu lenyap kembali di pintu kayu dan tangis mereka masih terdengar lapat-lapat. Seperti ditusuk-tusuk rasa jantung Kok Tiong mendengar putera sulungnya yang baru berusia empat tahun itu memanggil manggilnya dari balik daun pintu. Ingin dia memberontak dan memecahkan daun pintu itu, akan tetapi dia maklum bahwa itu bukanlah cara yang baik dan selamat, maka dia menekan perasaannya dan ketika tangan ayahnya menjamah lengannya, dia memutar tubuh dan bersama ayahnya mengikuti kakek botak kembali ke ruangan tadi di mana pemuda berkulit kehitaman itu masih menanti mereka sambil tersenyum-senyum.
Begitu tiba di ruangan itu, Kao Liang lalu menghadapi pemuda asing itu dan berkata dengan suara tegas, "Orang muda, apakah artinya semua ini? Lekas katakan, siapakah engkau dan kerja sama yang bagaimana yang kau minta dariku?"
"Kao-goanswe, dan Kao-sicu, duduklah kalian agar kita dapat bicara dengan baik," kata Liong Bian Cu sambil memberi isyarat kepada pelayan.
Segera pelayan datang membawa cawan dan meletakkan cawan dan mangkok di depan ayah dan anak itu, kemudian hidangan dikeluarkan, hidangan yang masih panas. Liong Bian Cu lalu menuangkan sendiri arak ke dalam dua cawan di depan ayah dan anak itu, mempersilakan mereka untuk minum.
"Maaf, orang muda. Sebelum kami mengenal siapa engkau dan mengetahui apa maksudmu menawan keluarga kami, bagaimana kita dapat minum dan makan seperti antara sahabat?" Kao Liang berkata lagi dan tidak menyentuh cawan arak itu. Juga Kok Tiong duduk tegak dengan mata menatap wajah pemuda berkulit kehitaman itu dengan sinar mata tajam penuh selidik.
Liong Bian Cu tersenyum melihat penolakan ayah dan anak itu. Dia minum araknya dari cawan, lalu meletakkan cawan itu di atas meja dan berkatalah dia sambil menatap tajam wajah bekas jenderal itu, "Kao-goanswe, saya bernama Liong Bian Cu dan biar pun engkau belum pernah bertemu dengan saya dan belum mengenal saya, akan tetapi saya kira engkau tentu sudah mengenal baik mendiang ayah saya."
Kao Liang mengerutkan alisnya. "She Liong...?" dia berkata lirih dan mengingat-ingat karena setahunya, yang she Liong adalah pangeran-pangeran dari Kerajaan Ceng!
"Benar, Goanswe, mendiang ayah saya adalah Pangeran Liong Khi Ong!"
"Ahhh...!" Bukan main kagetnya Kao Liang mendengar ini, juga Kok Tiong terkejut dan timbul kekhawatiran besar di dalam hatinya. Mendiang Liong Khi Ong adalah seorang pemberontak besar dan ayahnya adalah bekas panglima yang telah membasmi kaum pemberontak. Kenyataan ini saja sudah amat jelas berbicara mengapa keluarga Kao diculik dan ditawan!
"Antara mendiang Pangeran Liong Khi Ong dan saya memang terdapat pertentangan," akhirnya Kao Liang berkata dengan suara berat, "Akan tetapi itu bukan merupakan permusuhan pribadi, melainkan dalam kedudukan saya sebagai panglima perang abdi negara. Maka saya tidak melihat dasar-dasar yang kuat mengapa Kongcu mengambil tindakan terhadap keluarga saya yang tidak tahu-menahu tentang pertentangan antara mendiang ayahmu dan saya itu."
Liong Bian Cu tersenyum lebar. "Tenanglah, Goanswe. Sudah kukatakan tadi bahwa kami menawan keluargamu sama sekali bukan dengan niat yang buruk! Dan saya sama sekali tidak menaruh dendam pribadi kepadamu. Saya bukanlah seperti orang biasa yang mabuk oleh dendam dan sakit hati pribadi. Saya adalah seorang pangeran, cucu dari raja besar di Nepal."
Kao Liang rnengangguk-angguk dan mendengar bahwa putera Pangeran Liong Khi Ong ini juga merupakan cucu Raja Nepal, tahulah dia dan teringatlah dia bahwa Pangeran Liong Khi Ong memang mempunyai seorang selir, yaitu puteri Raja Nepal. Jadi pemuda inikah keturunannya dari puteri Nepal itu? Dia lalu memandang kepada kakek botak dan kedua kakek lain yaitu Hek-tiauw Lo-mo yang seperti raksasa menyeramkan, dan kakek muka tengkorak yang tidak kalah mengerikan itu.
"Dan saya memperkenalkan Locianpwe ini adalah guru saya, juga beliau adalah koksu dari Nepal, berjuluk Ban Hwa Sengjin," Liong Bian Cu berkata dan kakek botak itu bangkit berdiri.
Kao Liang makin kaget dan cepat dia bangkit berdiri memberi hormat yang dibalas oleh kakek botak itu. Kiranya Pangeran Nepal ini berada di situ bersama Koksu Nepal! Tentu ada apa-apa di balik ini semua, ada sesuatu yang amat penting! Akan tetapi dia menekan keheranannya dan tetap bersikap tenang.
"Mereka berdua ini adalah dua di antara pembantu-pembantu kami, Goanswe. Beliau ini adalah Locianpwe Hek-hwa Lo-kwi, dan Locianpwe ini adalah Hek-tiauw Lo-mo."
"Ha-ha-ha, Jenderal Kao Liang sudah mengenalku!" berkata Hek-tiauw Lo-mo sambil tertawa dan minum araknya.
"Kiranya Kongcu adalah pangeran dari Nepal dan lengkap dengan para pembantu yang amat lihai. Akan tetapi apa hubungannya itu dengan keluarga saya? Kerja sama apa yang dapat saya lakukan untuk Kongcu?"
"Kami tahu bahwa Goanswe adalah seorang ahli dalam ilmu perang. Mungkin untuk seluruh Tiongkok pada waktu ini, Goanswe adalah orang yang paling pandai! Kami amat membutuhkan bantuanmu, Kao-goanswe. Kami ingin agar engkau suka memimpin orang-orang kami, menjadikan tempat ini, lembah ini sebagai benteng yang amat kuat. Terus terang saja, kami berniat untuk menentang kaisar, dan kami sudah menerima janji bantuan dari Gubernur Ho-nan dan banyak pula pembesar lain, baik sipil mau pun militer."
Berubah wajah bekas jenderal itu. Keluarga Kao sejak turun-temurun adalah pahlawan pahlawan yang setia! Dan sekarang, Pangeran Nepal ini mengajak dia bersekutu untuk memberontak terhadap kerajaan! Hampir saja tangan Kao Liang menghantam meja di depannya saking marahnya, matanya mendelik dan kumisnya seolah-olah berdiri. Dia tidak mampu bicara saking marahnya.
"Engkau berjanji akan membantu kami, Kao-goanswe, dan kami pun akan berjanji untuk menjamin keselamatan jiwa raga keluargamu. Bukankah itu sudah adil sekali?" Liong Bian Cu kembali berkata dengan suaranya yang tenang dan halus.
"Tidak...! Tidak sudi aku...!" Tiba-tiba Jenderal Kao berteriak dan cepat bangkit berdiri, mengepal tinjunya, mukanya merah dan matanya mendelik.
"Ayah...!" Kok Tiong berkata lirih, suaranya penuh kegelisahan. "Ayah, harap Ayah sudi menyelamatkan dua orang cucumu!" Muka orang muda ini pucat sekali karena dia maklum bahwa nyawa seluruh keluarga yang dikurung di sana tadi berada di telapak tangan ayahnya!
"Tidak...! Seribu kali lebih baik kita mati semua!" kembali Kao Liang berseru keras dan pada saat itu terdengar jerit tertahan dari balik sebuah pintu.
"Gihu (Ayah Angkat)...!" Dan muncullah Syanti Dewi bersama Hwee Li dari balik pintu itu. Syanti Dewi lari menghampiri Kao Liang. Bekas jenderal ini terkejut, menoleh dan segera memeluk Syanti Dewi yang sudah merangkulnya dan menangis di atas dadanya yang bidang.
"Kau...? Dewi...? Kau... juga di sini?" bekas jenderal itu berkata heran dan juga bingung, penuh kekhawatiran.
"Gihu, saya menjadi... tawanan perang di sini. Baru hari ini saya mendengar bahwa keluarga Gihu semua juga menjadi tawanan di sini... harap Gihu tidak menggunakan kekerasan dan bersikap bijaksana untuk menyelamatkan keluarga Gihu...!"
"Syanti Dewi, biar pun kami memberi kebebasan kepadamu, akan tetapi perbuatanmu ini lancang sekali dan tidak tahu tata susila. Harap kau suka meninggalkan ruangan ini," kata Liong Bian Cu dengan sikap halus.
Syanti Dewi segera melepaskan pelukan ayah angkatnya dan mundur dengan kedua pipi kemerahan.
"Semua ini tentu gara-gara Hwee Li!" Hek-tiauw Lo-mo membentak, lalu berkata kepada dara itu dengan nyaring, "Hwee Li, hayo kau ajak Sang Puteri pergi dari ruangan ini!"
Dara cantik jelita yang barusan datang bersama Puteri Bhutan itu berdiri tegak, bertolak pinggang menghadapi Hek-tiauw Lo-mo kemudian berkata, "Memang benar aku yang mengajaknya ke sini! Habis, kau mau apa?" Sikapnya menantang sekali, mengherankan Kao Liang dan puteranya. Alangkah beraninya sikap dara cantik jelita ini, dan anehnya, Hek-tiauw Lo-mo yang biasanya sangat angkuh itu, kejam dan ganas, sekali ini tidak menjawab apa-apa atas tantangan itu!
Pangeran Liong Bian Cu cepat bangkit berdiri dan dengan suara yang amat ramah dan halus dia berkata kepada dara itu, "Hwee Li, kekasihku, harap engkau tidak membuat ribut di sini. Kami sedang membicarakan urusan besar, harap engkau suka mengajak Syanti Dewi ke taman, Sayang."
Hwee Li merasa malu sekali melihat pangeran itu memperlihatkan sikap demikian ramah dan mesra kepadanya di depan banyak orang. Dia ingin marah, akan tetapi dia takut kalau-kalau pangeran itu akan makin bersikap mesra, maka dia lalu menggandeng tangan Syanti Dewi dan diajaknya pergi cepat-cepat dari ruangan itu. Pangeran Liong Bian Cu tersenyum lebar, puas akan hasil dari kecerdikannya. Dia tahu benar harus bersikap bagaimana untuk mengalahkan dara yang dicintanya itu.
"Maaf atas gangguan tadi, Kao-goanswe. Sungguh saya tidak mengira bahwa Syanti Dewi adalah anak angkatmu. Dan gadis tadi adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo locianpwe, atau tunangan saya."
Diam-diam Kao Liang merasa heran dan juga terkejut. Dara cantik jelita tadi tunangan pangeran ini? Puteri Hek-tiauw Lo-mo? Kini dia mengerti mengapa Hek-tiauw Lo-mo membantu pangeran ini. Dan biar pun dia kagum akan kecantikan dan keberanian dara itu, namun diam-diam dia bergidik mengingat akan sikap dara itu terhadap ayahnya! Dasar ayahnya seorang laki-laki iblis, anaknya pun sikapnya demikian kurang ajar terhadap ayahnya sendiri! Akan tetapi, yang amat mengherankan hatinya, bagaimana Syanti Dewi yang memiliki watak mulia dan lemah lembut itu kelihatan begitu akrab dengan dara iblis tadi?
"Kao-goanswe," tiba-tiba Koksu Nepal berkata kepadanya dengan suaranya yang asing karena Ban Hwa Sengjin memang seorang asli Nepal, sungguh pun dia telah berusaha mempelajari bahasa Han dengan baik dan dapat bicara dengan lancar. "Kita sama sama adalah orang-orang yang tahu akan tata negara, tahu akan kebijaksanaan dan kesetiaan terhadap pemerintah. Seorang bijaksana akan setia kepada tanah air dan bangsa melalui kesetiaannya terhadap pemerintah. Akan tetapi, kalau melihat betapa pemerintah dipimpin oleh orang-orang yang lemah dan tidak bijaksana, benarkah kalau dia mengekor saja dan berarti menambah beban penderitaan rakyatnya? Tentu tidak, dan seorang bijaksana akan menentang pemerintah yang demikian, demi kebaktiannya kepada rakyat dan tanah airnya."
Kao Liang memandang wajah kakek botak itu dan sejenak mereka beradu pandang. Diam-diam bekas jenderal itu terkejut melihat sinar mata yang tajam bersinar-sinar dan penuh wibawa itu, maklumlah dia bahwa selain pandai, juga Koksu Nepal itu tentu bukan orang sembarangan dan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Kemarahan hebat yang tadi membakar dadanya kini sudah mereda setelah munculnya Syanti Dewi yang tak disangka-sangkanya.
"Ban Hwa Sengjin, ke manakah tujuan kata-katamu itu?"
"Kao-goanswe, seperti yang dikatakan oleh Puteri Bhutan tadi, seorang bijaksana akan lebih dulu mengutamakan keselamatan keluarganya dan dalam hal ini, Goanswe adalah seorang yang akan menentukan mati hidupnya keluarga Goanswe, termasuk pula Syanti Dewi."
"Hemmm, engkau hendak mengancam keselamatan mereka demi untuk memeras dan memaksaku, Koksu?" bekas jenderal itu mengejek.
"Bukan ancaman kosong belaka, Kao-goanswe! Dengan sekali isyarat, saat ini pun aku sanggup menyuruh algojo memenggal leher keluargamu di depan matamu!" Pangeran Liong Bian Cu berkata tenang dan halus, namun isi kata-katanya itu penuh ancaman yang mengerikan sehingga pucatlah wajah Kok Tiong mendengar ini.
"Bukan sekedar mengancam untuk memaksa, Jenderal Kao Liang!" kata pula Ban Hwa Sengjin dengan sinar mata tajam. "Sebagai seorang ahli perang engkau tentu dapat mengetahui kalau keadaanmu sudah tersudut dan kalah total. Engkau sudah kalah dan kami yang menang, karena itu kami menggunakan hak kami sebagai pemenang dan sudah selayaknya kalau engkau tahu diri sebagai pihak yang kalah. Akan tetapi, selain kenyataan ini aku ingin membuka mata dan kesadaranmu akan kenyataan lain, yaitu bahwa engkau tidak mempunyai pilihan lain."
Kao Liang menegakkan kepalanya dan mengangkat dadanya. "Bagiku, tetap saja ada pilihan, Koksu, karena aku lebih menghargai kehormatan dari pada nyawa. Ancamanmu terhadap keluargaku, sama sekali tidak akan membutakan mataku terhadap nilai kehormatan kami!"
Wajah koksu itu sudah menjadi merah karena dia marah sekali melihat kekerasan hati bekas jenderal ini. Akan tetapi Liong Bian Cu memberi isyarat kepadanya dan orang muda yang cerdik ini lalu berkata, "Jenderal Kao Liang, sikapmu yang tegas dan gagah itu amat mengagumkan hatiku. Akan tetapi engkau lupa bahwa setiap perbuatan itu tentu ada dasarnya. Setiap pemberontakan ada pula yang menjadi dasarnya. Ketika mendiang ayahku memberontak terhadap kaisar, apakah dasarnya? Karena kaisar terlalu lemah dan membiarkan para pembesar melakukan korupsi dan maksiat besar besaran, memeras rakyat. Ayah memberontak dan gagal, hal itu sudah biasa dan tidak perlu disesalkan. Yang patut disesalkan adalah betapa kelaliman berlangsung terus. Engkau, yang ketika itu menjadi panglima, bahkan lalu diangkat menjadi panglima besar, kini dapat melihat bukti kebenaran dasar yang membuat ayahku memberontak, Jenderal Kao. Lihat, betapa lalimnya kaisar! Betapa kaisar memberi hati kepada para thaikam dan pembesar-pembesar lalim dan jahat, sehingga banyak orang-orang yang benar-benar merupakan pahlawan seperti engkau, malah disingkirkan dan dipecat. Orang-orang yang penjilat dan pemeras rakyat, tukang korupsi besar malah dipakai dan memperoleh kekuasaan. Engkau yang dipecat dan diusir secara halus oleh kaisar membuktikan bahwa engkau bukan termasuk pembesar penjilat dan korup. Engkau tidak merasa sakit hati oleh tindakan lalim kaisar itu terhadapmu, itu membuktikan bahwa engkau berjiwa pahlawan yang setia. Tetapi sebaliknya, engkau membiarkan kaisar dan kaki tangannya melakukan kelaliman yang menyengsarakan rakyat, hal itu berarti bahwa engkau pun membantu kelaliman mereka. Bukankah orang yang tahu kejahatan dan tinggal memeluk tangan saja berarti membantu kejahatan itu pula?"
Kata-kata Liong Bian Cu merupakan ujung pedang tajam yang menusuk-nusuk hati bekas jenderal itu, membuat dia menundukkan kepalanya dan mukanya menjadi agak pucat. Harus diakui bahwa di dalam kata-kata itu terkandung kebenaran yang sukar untuk disangkal. Memang kaisar amat lemah, kaisar yang sudah terlalu tua dan sakit sakitan itu seakan-akan menyerahkan kendali pemerintahan kepada para thaikam yang korup dan lalim, dan memang kelaliman akan terus terjadi dan berlangsung tanpa ada yang berani menentang.
"Saya... saya tidak mungkin mau memberontak, lebih baik mati sekeluarga dari pada memberontak..." Akhirnya dia berkata dengan lirih dan memejamkan matanya.
"Ayah...!" Kok Tiong berkata dengan suara penuh duka dan dua butir air mata jatuh ke atas pipinya. Membayangkan dia dan isterinya mati masih belum apa-apa, akan tetapi membayangkan ibunya dibunuh, dan dua orang anaknya, benar-benar membuat dia hampir tidak kuat menahan.
"Hemmm, lihat betapa lemahnya jenderal yang terkenal ini! Lihat betapa kejam hati bekas panglima yang disanjung-sanjung dan dipuji-puji orang sebagai pahlawan ini! Membiarkan keluarganya terancam kematian padahal ia dapat menyelamatkan mereka, membiarkan rakyat tertekan kesengsaraan padahal dia dapat pula berusaha untuk mengubah nasib mereka! Betapa lemahnya, dan hanya mementingkan diri sendiri, kehormatan dan namanya sendiri saja!" kata Liong Bian Cu berkata lagi.
"Brakkkkk!"
Jenderal Kao menggebrak meja sampai tergetar dan cawan mangkok piring mencelat berkerontangan. "Cukup!" bentaknya. "Baiklah, aku mau membantu kalian, akan tetapi hanya untuk memimpin lembah ini yang akan dibangun sebagai benteng. Aku mau memimpin dan mengatur agar benteng ini tidak dapat diduduki oleh musuh mana pun, akan tetapi hanya sekian saja, dan biar kalian mengancam bagaimana pun, jangan harap dapat memaksaku memimpin pasukan menyerbu kerajaan!"
Liong Bian Cu tersenyum dan cepat bangkit berdiri dan menjura. "Terima kasih, Goanswe. Siapa yang mengharapkan engkau menyerbu ke kota raja? Asal engkau dapat membuat lembah ini menjadi benteng yang kuat, sudah cukuplah. Berjanjilah bahwa engkau akan mempertahankan benteng ini dengan sekuat tenaga dan seluruh jiwa ragamu!"
"Hemmm, Liong-kongcu, lebih dulu berjanjilah demi nama nenek moyangmu bahwa engkau akan menjamin keselamatan keluargaku dan Puteri Bhutan!"
"Baik, aku berjanji akan menjamin keselamatan keluargamu dan Puteri Bhutan, demi nama nenek moyangku!" Liong Bian Cu berkata dengan sikap sungguh-sungguh.
"Dan aku berjanji akan mempertahankan lembah ini dengan jiwa ragaku, demi nama keluarga Kao!" kata bekas jenderal itu.
Hidangan dan minuman lalu ditambah dan mereka merayakan persekutuan itu. Untuk melupakan perasaannya yang tertindih, bekas jenderal itu minum arak tanpa batas sampai akhirnya dia mabuk dan diantar oleh pengawal memasuki kamar keluarganya, bersama Kok Tiong. Terjadilah pertemuan yang mengharukan dan hujan tangis terjadi.
Demikianlah, mulai hari itu, Kao Liang dengan sungguh hati lalu membangun lembah itu menjadi sebuah benteng yang kokoh kuat. Pelaksanaannya dibantu oleh tukang-tukang dan tenaga dari Gubernur Ho-nan dan semua rencana dan gambar yang dibuat oleh Jenderal Kao dilaksanakan sehingga tempat itu menjadi sebuah benteng yang sukar sekali ditembus musuh. Sungai yang mengelilingi lembah itu diperdalam dan diperlebar, ditambah air yang mengalir dari atas bukit ke dalam lembah. Di sekeliling lembah dibangun tembok benteng yang tebal dan kokoh, dan dibuat pula banyak tempat-tempat jebakan yang amat berbahaya.
Jenderal Kao dan seluruh keluarganya hidup bebas di tempat itu, bersama Hwee Li dan Puteri Syanti Dewi yang seperti telah bergabung menjadi anggota keluarga jenderal itu. Akan tetapi biar pun mereka kelihatan bebas, sesungguhnya mereka sama sekali tidak bebas! Jenderal Kao dan Kok Tiong memang dapat pergi ke mana saja, akan tetapi selalu di situ terdapat anggota keluarga mereka menjadi sandera dan tidaklah mungkin untuk mencoba-coba meloloskan diri beserta seluruh keluarga yang terdiri dari wanita wanita dan anak-anak itu!
Dalam waktu beberapa pekan saja, rambut Jenderal Kao sudah berubah menjadi putih semua. Hal ini terjadi karena memang batinnya amat tertekan dan dia melakukan semua itu demi menyelamatkan keluarganya. Di dalam hatinya, dia merasa malu sekali kepada mendiang ayahnya, kakeknya dan nenek moyangnya yang turun-temurun merupakan panglima-panglima besar yang setia.....

YOU ARE READING
JODOH RAJAWALI (seri ke 9 Bu Kek Siansu)
Action(seri ke 7 Bu Kek Siansu) Jilid 1-62 Tamat