~CHAPTER ONE~

1.5K 142 5
                                    

Di setiap penghujung bulan desember orang-orang pasti punya cara tersendiri untuk merayakan malam pergantian tahun. Ada yang memilih berkumpul bersama keluarganya sambil makan-makan direstoran, ada juga yang menghadiri acara-acara besar semacam konser atau pesta kembang api yang diadakan statiun tv lokal. Atau mau yang lebih intim, berkumpul bersama keluarga besar sambil bakar-bakar diteras rumah dan menyalakan kembang api kecil-kecilan. namun bagi orang kampung, tahun baru bukanlah sebuah kewajiban yang harus dirayakan, jadi untuk anak rantau sepertiku tidak ada alasan untuk pulang.

Entah berapa kali tahun baru yang aku habiskan hanya duduk-duduk diam dikamar kosan atau bahkan ketiduran. Namun berbeda dengan akhir tahun ini, aku ingin menorehkan sebuah pengalaman yang tidak akan terlupakan. Ingin menghabiskan tahun ini dengan sebuah perayaan, sekalian juga sebagai pesta karena dua bulan yang lalu aku baru saja diwisuda dan telah resmi menjadi sarjana. Bukan sebuah perayaaan glamor disebuah café ataupun kamar karaoke, bukan juga dengan pesta miras oplosan dikamar kosan, atau menyaksikan penari striptis di sebuah klub malam. Jelas aku tak sanggup melakukan semua itu, bukan saja karena alasan dosa dan takut masuk neraka tapi status yang berubah dari mahasiswa menjadi pengangguran membuat semua itu menjadi sangat tidak mungkin untuk dilakukan.

Naik gunung, belakangan ini menjadi sebuah trend generasi milenial. aku bukan anggota mapala dikampus, sekalipun aku anak kampung tapi menjelajah gunung adalah hal yang baru buatku. Maklum dikampungku banyak sekali pantangan memasuki daerah yang belum terjamah. Jangankan gunung, hutan sebelah kampung saja aku tidak berani memasukinya. Katanya banyak dedemitnya, hewan buas dan masih banyak lagi cerita-cerita orang kampung untuk melarang anaknya pergi jauh-jauh kedalam hutan.

Rencana naik gunung ini diawali dari sebuah obrolan iseng disore hari. Ketika itu Baim, entah aku harusnya menyebutnya teman atau apa, karena bagi dia melebeli hubungan dengan kata teman atau sahabat itu terlalu berat. Ketika ada dua orang yang memutuskan untuk menjadi sahabat itu artinya ada kewajiban-kewajiban tidak langsung yang harus dipenuhi, seperti tidak boleh menghianati, harus saling menolong dan istilah-isitlah lainnya. dia bukan manusia yang suka dengan kewajiban, maka Baim lebih suka menyebut hubungan kami berdua ini dengan sebutan “interaksi antar manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan”. Pemikirannya sangat rumit sekali, orang yang baru mengenalnya mungkin akan menganggap bawah dia sudah gila. Walaupun begitu kami sering berkumpul bersama, entah ditempat tongkrongan ataupun dikosan.

“Kita rayakan digunung saja, ditemani segelas kopi dan sebatang rokok kretek menghabiskan malam.”

“Naik gunung bagiku mungkin hal baru, tapi bagi kamu kan bukan tantangan lagi. Katanya mau menutup akhir tahun dengan hal yang berkesan ?”

“Aku belum pernah naik gunung diluar jawa barat.”

Baim lebih berpengalaman soal mendaki. Hampir seluruh gunung dijawa barat pernah ia daki. Entah berapa kali dia turun naik gunung hanya untuk mengantar adik-adik kelasnya dikampus. Kecintaannya pada gunung sudah melebihi besar gunung itu sendiri, begitu yang pernah dia katakan.

“Nanti aku ajak yang lain, biar makin rame.”

“ Kalau mau rame naik kora-kora , jangan naik gunung.”

“Dasar sundal, kalau Cuma kita berdua yang berangkat bukan pesta namanya tapi kencan.”

“Pesta ? kita kan mau naik gunung bukan pesta.”

“Terserah, pokonya nanti aku ajak sekalian si Imron.”

“Okelah. Kalau banyak orang makin banyak makanan. Sekarang aku mau mengunjungi pacarku dulu.” jawab Baim sambil beranjak dari duduknya.

-
Bersambung...

Jangan lupa comment and vote :)

KABUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang