2. THE BOSS

4.2K 110 1
                                    

ADAM

.

Terjaga oleh denting gawai tanda pesan masuk, ranjang sebelahku kosong, beberapa kali memang teman tidurku meninggalkanku tanpa sarapan, tapi yang sering mereka akan berusaha merayu untuk bisa melanjutkan hubungan.

"Tunggu!" Perempuan yang bersamaku tadi malam sedang berjalan ke arah pintu.

"Tunggu!" seruku lagi, "aku tidak tahu namamu."

Tanpa perduli ia menghilang di balik pintu, menolehpun tidak. Tak mungkin aku mengejarnya tanpa busana. Ingin menelpon reception untuk menahannya, tapi aku tidak tahu namanya, dan tidak memperhatikan ciri-cirinya.

.

Berkumur sambil tersenyum, terasa pegal-pegal badanku, perempuan itu tahu betul bagaimana mencari variasi posisi, tubuhnya lentur, bebas meliuk menggelinjang ... ah ... mengenangnya saja membuat keras kembali. Memungut pakaian untuk dikenakan, kulihat noda darah di sprei ... mengingat lagi ... sepertinya memang perempuan semalam masih perawan, ia memekik kesakitan waktu pertama menyatu, meneteskan air mata ... dan rasa itu ... relung perempuan itu mencengkeram erat, susah bergerak.

Aku menginginkannya lagi, tapi ia tidak meninggalkan nama dan nomor telpon seperti yang lain.

"Alvin," kutelpon asisten pribadiku, "cek CCTV di lorong, di lobby, di drop off. Aku mau kautemukan perempuan yang bersamaku tadi malam."

.

Paul Pattiserie di Pacific Place, aku memesan kopi sambil menunggu Mr. Park, rekan bisnis dari Korea.

[Selamat pagi, Pak Adam.] pesan masuk dari Renata, ahli gizi yang mengatur menu makan Alex, adikku yang bermasalah dengan sistem imunisasi tubuhnya.

[Mohon maaf, pemberitahuannya mendadak, mulai hari ini saya berhenti bekerja untuk Alex. Terima kasih.]

Aku ingin menelpon membujuknya bekerja lebih lama, tidak mudah mencari penggantinya, tapi Mr. Park sudah datang, terpaksa ditunda. Lalu aku melupakannya. Meeting usai, pulang.

Mobil mulai melaju ketika mendadak berhenti, sopirku berteriak kaget, menabrak orang. Aku turun memeriksa, korbannya seorang perempuan, berusaha bangun, lega berarti tidak parah. Mengulurkan tangan ingin membantu berdiri, tapi ditepiskannya.

"Renata?"

Ia terlihat terkejut, berjalan pincang menjauh, tapi baru dua langkah tubuhnya limbung, aku sigap menangkapnya, mengangkatnya masuk ke mobil, membawanya ke rumah sakit.

Hampir setahun Renata bekerja di rumahku sebagai ahli gizi untuk Alex. Di antara sekian yang pernah mengurus menunya, adikku paling suka kepadanya, mulai dari variasi menu, citarasa masakannya, mau menemani mengobrol, sampai bermain piano bersama, menjadi temannya. Namun aku tak pernah memperhatikannya, terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan, sesekali saja bertemu dan bertegursapa.

.

"Sejauh ini tak ada yang perlu dikuatirkan," kata dokter jaga IRD setelah memeriksanya, "tapi kami akan melakukan observasi selama dua jam, bila tidak ada pembengkakan di perut, pasien bisa langsung pulang."

"Lakukan pemeriksaan dengan teliti, dok," kataku, "saya tak ingin ada tuntutan di kemudian hari."

"Sepertinya ...." Dokter itu menahan senyum melanjutkan penjelasannya, "lebam-lebam di dadanya bukan karena memar tertabrak mobil ...."

Aku tidak mengerti, ingin bertanya, tapi gawaiku berbunyi, panggilan dari rumah.

.

"Rumah Sakit Pondok Indah," aku menyuruh Alvin menggantikanku mengurus Renata, Alex membutuhkanku, "langsung ke IRD. Urus Renata, bayar semua biaya pengobatannya, minta diperiksa dengan seksama. Aku tak mau ada tuntutan kelak."

TRAUMA RENATAWhere stories live. Discover now