5 | Admit it

1.7K 236 3
                                    


“Mau kuberitahu sesuatu?”

“Apa itu?”

“Aku merindukannya.”

“Kalau begitu kita sama. Aku juga merindukannya.”

Chenle dan Jisung—kedua anak itu sama-sama berbaring menatap langit-langit kamar, malam ini Jisung memilih tidur di kamar Chenle karena Ia masih kesal atau tidak enak pada Mark, mungkin.

“Chenle—“

“Iya?”

“Tentang Haechan hyung, apa dia baik-baik saja?”

“Kelihatannya begitu. Memang kenapa?”

“Apa kelihatannya itu menjamin keadaan yang sebenarnya?”

Chenle menggeliat pelan, merubah posisinya menjadi membelakangi Jisung.

“Aku secara pribadi berpikir kalau dia berprinsip semuanya berlalu dan akan baik-baik saja. Bahkan dia hanya menangis sekali sejak Jeno hyung meninggal.”

Jisung mengangguki ucapan Chenle, “Posisinya pasti tertukar denganmu, harusnya Haechan hyung dua kali dan kau sekali.”

Dan pengakuan Jisung barusan membuatnya mendapatkan serangan bertubi-tubi menggunakan guling.

“JISUNG PABOYA!” Pekik Chenle tepat di telinga Jisung yang mendadak tuli sesaat.

“Aku harus mengundurkan diri dari Chenji this and that.” Kata Jisung sambil mengusap telinganya kesal. Saat Chenle berteriak dari jauh saja sudah memekakkan telinganya, apa lagi dalam jarak 10 cm?

“Ya sudah, pergi juga dari kamarku ini, huh.”

————

“Bagaimana perasaanmu?”

Renjun dikejutkan dengan pertanyaan dari seseorang dibalik pintu, namun tak lama kemudian Ia tersenyum, “Baik hyung. Aku baik-baik saja.”

“Jangan berjalan lagi ya malam ini, ingat baik-baik.” Ten—laki-laki itu mengusak pucuk kepala Renjun gemas, niat Ten sebenarnya adalah menghibur, karena Ia tau dreamies yang paling tertekan.

Diperlakukan seperti itu, Renjun hanya pasrah dan mengangguk seperti anak kecil, “Iya hyung, lagipula aku kan sudah sehat.”

“Jika kau butuh seseorang untuk menjadi teman tidurmu atau apapun, maka naiklah ke lantai tiga, ketuk pintu kamarku, atau yang lainnya.”

“Iya hyung, kau sangat cerewet.” Renjun bertingkah sok kesal dan menatap Ten garang seolah siap mencakar seperti anak kucing.

“Tidurlah sana, semoga bermimpi moomin.”
Ten terkekeh dan berjalan keluar, meninggalkan Renjun dengan senyuman mirisnya.

“Hari itu, aku bermimpi Jeno bersamaku, dia tersenyum, dia ada, dia hadir di tengah-tengah kami—dan itu adalah mimpi terbaik yang pernah aku dapatkan.”

————

“Uri aegi.”

Jaemin tersenyum gemas dengan pemandangan di depan matanya, dua bayi—kesayangannya kini tidur pulas dengan posisi saling membelakangi. Jika sudah seperti ini maka sisi soft dari seorang Na Jaemin mengambil alih dirinya.

Ia berbalik hendak menutup pintu— melupakan pesan Kun untuk membangunkan mereka sarapan, tapi—

“Eh?”

Satu persen kadar softnya tergantikan dengan rasa jahil, Ia membuka pintu lebar-lebar dan berlari ke atas ranjang—menjatuhkan diri di tengah-tengah kedua bayi besarnya.

[3] Calling Out Your NameWhere stories live. Discover now