Masa Kecil Indah

52 6 0
                                    

Setangkai bunga mawar merah tumbuh di taman belakang rumah seseorang. Oh tidak, bukan rumah seorang gadis, melainkan anak laki laki berusia 12 tahun. Sekarang anak laki laki itu sedang bermain sepak bola dengan adiknya bersama mawar merah itu.

"Kak Marc, kita ke sana yuk!" Adiknya menunjuk nunjuk rumah lain di seberang rumahnya.

"Enggak ah, malu. Lagian kan anak di rumah itu baru pindah."

"Kita ajak main, kalo ternyata cowok gimana?"

"Tetep enggak!"

"Ayo, dong kak! Ih, kakak tau malu malu doang. Sini biar aku ajarin kakak biar bisa gaul." Adiknya menarik tangannya paksa, Marc memang agak susah kalau harus menyapa orang baru di dekatnya.

Mereka mengintip lewat dinding pembatas rumah, hal ini sungguh menyenangkan untuk dua anak yang sedang ingin bermain.

Seorang pria paruh baya keluar dengan batang rokok di mulutnya. Dia terlihat duduk di atas kursi kayu. Tak berselang lama, seorang anak perempuan berambut bob datang dengan membawa secangkir kopi. Jangan tanya bagaimana ekspresi kedua saudara ini.

"Lihat, Kak. Ternyata perempuan. Cantiknya..."

"Aih, apaan sih, Evan?! Masih kecil, udah kayak ABG."

"Jadi menurutmu kau sudah ABG? Dia memang cantik, kok. Aku mengkhayal kalau kakak suatu hari nanti menikah dengannya." Marc terdiam, skakmat! Pipinya memerah padam, apa yang barusan adiknya katakan? Marc baru saja ingin menyumpal mulut Evan jika saja paman itu tidak menyadari kehadiran mereka.

"Kalian! Pergi, jangan main di sini!!," Usirnya.

Marc dan Evan saling menatap satu sama lain, lalu lari terbirit-birit. Sampai di rumah, Evan menertawakannya. Tapi Marc tidak peduli, tentu dia masih terbayang anak perempuan itu. Apa mungkin sudah seharusnya dia akrab dengan anak perempuan?

Keesokkan harinya, dia datang lagi ke rumah itu dan kali ini tanpa Evan. Adiknya hanya akan merusak segalanya seperti kemarin. Tidak ada gadis itu di sana. Terasnya kosong, dan apa yang akan Marc lakukan? Tentu dia harus menunggu.

10 menit, 15 menit, sampai 20 menit, gadis itu tidak muncul juga. Marc tidak bisa hanya menunggu, dia harus melakukan sesuatu. Diambilnya secarik kertas sticky note, lalu apa yang harus ditulis.

"Hi, namaku Marc. Kalau boleh aku ingin berkenalan. Aku tetanggamu di seberang dan usiaku 12 tahun. Kuharap kita bisa... berteman mungkin?"

Apa ini berlebihan? Tidak, gadis itu pasti mengerti. Marc menempelkannya dekat dinding itu, berharap gadis itu yang menemukannya.

Sore harinya, sebuah catatan kecil ia temukan di depan sepucuk mawar merah. Kertas itu terlipat rapi, lucu sekali di jaman seperti ini mereka melakukan surat suratan.

"Oh, jadi ternyata kau yang mengintip lewat dinding kemarin. Kalau begitu perkenalkan aku Maura, usiaku lebih muda 2 tahun darimu. Kau sepertinya menyenangkan, semoga kita menjadi teman baik ya."

Marc melompat kegirangan di belakang rumahnya, sungguh menyenangkan. Mereka terus berkomunikasi seperti itu, karena Maura tidak diizinkan pergi dari rumahnya.

Tapi ada kala sesuatu yang menyenangkan harus berakhir dengan cepat. Kondisi ekonomi keluarga Marc buruk dan tidak ada pilihan lain untuk pindah ke tempat pamannya, ke Kalimantan. Dia harus meninggalkan tempat kelahirannya di tanah Sriwijaya ke tempat kaya hutan di Indonesia. Untuk itu, dia memberi Maura pesan, mungkin terakhir kali.

"Maura, maafkan aku. Kondisi ekonomi keluargaku memburuk dan ayah harus bekerja di Kalimantan, tempat pamanku. Tapi tidak perlu khawatir, kalau suatu hari nanti kita pasti bertemu lagi dan... jangan lupakan aku, yah."

Begini saja? Apa ini cukup untuk sebuah perpisahan kecil, tidak jangan sebut ini perpisahan. Semoga saja...

Far to GoWhere stories live. Discover now