1

21 9 4
                                    

"Kalau aku jadi Ophelia mungkin aku merasa bahagia menjadi wanita sepenuhnya milik Hamlet. Lembaran pertama sudah aku tulis. Buku ini kado dari sepupuku Hera, ratu cantik dalam mitologi yunani. Terimakasih Hera! Lain kali aku ingin memberi mu bintang, kamu mau Aldebaran atau Altair? Aku ambilkan untukmu. Kamu memang baik ya memberi ku buku diary dengan sampul Rigel, bintang kesukaanku. Tapi tetap saja, semua buku diary ku hanyalah tulisan imajinasi ku tentang Ophelia, hehe"

Zenith Athanasia Ceres, baru saja menutup lembaran buku diary nya. Hari ini hari sabtu, rutinitas mingguan untuk menyetorkan keluh kesahnya pada diary itu. Menurutnya, sekalipun punya teman untuk diajak curhat lebih nyaman bercerita dengan buku diary.

"Zenith!" Zenith a.k.a Ceres terkesiap dari tempat duduknya ketika namanya dipanggil. "Iya tante?", Zenith membuka pintu kamarnya. "Tante lusa ini mau ke Bandung, kamu tante titipin mama nya Hera ya?" , tante Greta tersenyum ramah kepada Zenith, putri dari kakak nya yang sangat ia sayangi. "Boleh kok tante, berangkat jam berapa tan?", tante Greta memberi tahu kalau berangkat nya masih lusa. Mungkin sekarang Zenith harus siap-siap menuju komplek perumahan milik Hera. "Siapin baju-baju kamu ya Zen, sekalian peralatan buat sekolah" Zenith mengangguk, ia tak sabar bertemu Hera.

Lusa nanti mereka masuk pertama ke SMA setelah libur panjang. Hera tidak satu sekolah dengan Zenith, karenanya Zenith  tidak punya banyak teman kecuali Bintang, Steffi, dan Shilla. "Apa aku bikin puding mangga kesukaan Hera ya?" Zenith tampak bingung. Tak ayal, ia langsung ke dapur untuk membuat puding mangga sebagai balasan kado buku diary dari Hera.

35 menit kemudian, puding nya sudah siap. Baju-baju dan peralatan sekolah juga sudah siap. Zenith tidak sabar ingin bertemu Hera, tapi tidak untuk mama Andhara.

"Zenith ayo berangkat!" Tante Greta berteriak kencang, maklum saja rumah sebesar itu pastilah jarak antara garasi dan dapur terbilang jauh. "Iya tante" Tupperware warna ungu kesukaan Hera lengkap dengan puding ditata apik. Tak lupa membawa koper, rencana nya dia menginap ke rumah sepupunya itu cukup 14 hari.

*
"Assalamualaikum tante Andhara" Zenith mengetuk pintu pelan, selang beberapa detik pintu terbuka. "Wah, tante Greta cantik banget mau kemana?" Greta hanya tersenyum kaku, entahlah dia tidak terlalu suka dengan Hera. "Tante mau ke Bandung, aku mau tinggal disini dua minggu." Hera berteriak senang dan memeluk Zenith. "Yuk ke kamar aku" keduanya pergi menuju kamar unsur unicorn milik Hera.

"Gak mampir dulu ta?" Greta terkejut tiba-tiba Andhara berdiri di depannya. "Aku duluan kak" Greta langsung memasuki mobilnya. Greta memang anak bungsu, usia nya masih 27 tahun. Jauh lebih pantas dibilang kakak Zenith daripada tante.

"Her, aku bikin puding mangga kesukaan kamu" Zenith memberi kotak makan warna ungu itu padanya. "Makasih ya, buku nya udah lo baca belum?" Zenith mengangguk dan senang Hera menghabiskan seluruh pudingnya.

*
Rachel Shahira Bellen, sepupu perempuan satu-satunya Zenith. Mama nya adalah kakak pertama almarhumah Friska, mama Zenith. Hera terpaut usia 7 bulan lebih tua dengan Zenith. Hera tidak mempunya teman, selain boneka barbie dan Zenith. Hera punya kakak, namanya Brian Daniel. Sekarang kuliah di Philadelphia.
*
Keduanya bercerita satu sama lain, Zenith tau betul Hera kesusahan tidak punya teman disana. Lagipula, memang Hera tidak bisa masuk di SMA Bhakti karena nilai nya tidak mencukupi. Tak terasa, sekarang sudah hari senin saja. Mereka sudah waktunya untuk masuk sekolah.

"Mama! Siapin mobilnya, Zenith nanti telat" Hera berteriak agar mama nya dengar. "Zen, tante Ara gak bisa antar kamu. Kamu bisa kan untuk berangkat sendiri?" Zenith tersenyum kecut, ia mengangguk dan menyalimi tangan tante Ara. Hal ini memang kebiasaan tantenya, tapi ia bisa apa selain mengangguk? Saudara mamanya juga cuma tante Greta dan beliau saja.

"Uang saku dari tante Greta makin menipis, apalagi sekarang naik angkutan umum. Ini baru hari pertama sekolah lagi", Zenith melangkah pelan menuju gerbang sekolah. Ini hari pertama sekolah, ia harus semangat.

"Zezenn" itu suara Steffi, sahabatnya. "Stef, Bintang sama Shilla mana?" ia mengendikkan bahunya pertanda bahwa ia tak tahu dimana mereka. "Yuk ah ke lapangan, ntar juga mereka nyusul" ajak Steffi yang dibalas anggukan oleh Zenith.

"Astaga aku gak bawa almet gimana ini?" Sepersekian detik Zenith baru ingat, almet nya ketinggalan. "Yah gue gak tahu zen, coba lo telpon tante Greta", "mana bisa, tante ada di luar kota. Aku nginep di Hera". Zenith sudah putus asa, lagian iya nanti akan dihukum. Zenith itu punya badan tinggi, rambut coklat, dan manik mata biru. Dia gak akan bisa sembunyi diantara siswi lain.

"Nih pakai" tiba-tiba datang cowok yang Zenith gak kenal siapa dia tapi dengan spontan ia mengalungkan almet warna merah maroon itu ke Zenith. "Kamu siapa?" cowok itu menoleh dan tertawa mendengar gaya bicara Zenith," lo hidup di jaman apasih?" Setelahnya dia melangkah menjauh.

Pandangan tadi itu apa? kedua mata biru mereka bertatapan secara intens. Tentunya dia yang memulai. Zenith tidak menyadari satu hal, bahwa suatu hari nanti pertemuan inilah yang menjadi awal perubahan dalam hidupnya.

Grazie, RigelDonde viven las historias. Descúbrelo ahora