01:02

23 8 4
                                    

Hai^^
Aku bawa cerita baru nih,
Oneshoot tapi, soalnya lagi mood buat cerpen wkwkwk
Untuk ceritaku yang Heavy Rotation belum update ya, aku kena writer's block *tepuk jidat
Nggak tau kapan aku bisa nglanjutin ceritanya.
.
I hope you like my new story^^ jangan lupa votement ya~
.
Mau kasih masukan juga boleh, ketik aja di komentar. Buat pertimbangan juga. Thank you and enjoy my new story ^^!
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
“Masih ingatkah kau, ketika kita bertemu untuk pertama kalinya di bawah hujan?”

***

Matahari bersinar terang. Angin pagi berhembus dan mengelus lembut tubuhku dengan pakaian serba krem. Aku  melangkahkan kaki menuju bangku taman yang tampaknya masih basah. Memang, kemarin hujan lebat dari pagi sampai malam. Jadi jangan heran kalau di sekitarku banyak tempat yang terkena air. Aku pun membersihkan sisa air hujan di bangku tersebut, lalu duduk di atasnya.

Namaku Damara. Punya nama lengkap, namun aku tidak mau memberitahu karena tidak penting. Sekarang aku kelas 11 SMA. Aku bukanlah siswi populer di sekolah, aku hanya gadis biasa yang menghabiskan waktu pulang sekolah bersama teman se-organisasi. Kehidupanku di rumah dan sekolah baik. Aku termasuk orang yang kalem tetapi mudah bergaul. Itulah mengapa aku mempunyai banyak teman. Kalau di rumah, papa dan mama begitu sabar merawatku. Mereka menasehatiku untuk berbuat baik kepada sesama. Orang tuaku juga menasehati agar aku melakukan hubungan dengan positif jika aku mempunyai pacar.

Pagi ini, aku sedang menunggu seseorang. Bukan teman, bukan juga saudara. Aih, siapa lagi kalau bukan Dherian? Laki-laki berparas tampan dan tinggi, penyuka kopi karamel, dan sangat menyukai gerimis. Dherian adalah temanku dari kelas lain. Ia partner¬ku di organisasi sekolah. Orangnya ramah, baik, dan penyabar. Tetapi banyak yang bilang jika Dherian ini banyak bicara. Kadang ia ngeyel kalau dinasehati. Walaupun begitu, aku memaklumi sifatnya itu. Dherian juga demikian.

Lumayan lama aku menunggunya, akhirnya Dherian datang. Celana jeans abu-abu, dasi bergaris hijau-hitam, kemeja putih yang diselimuti jas kotak-kotak menjadi outfitnya hari ini. Tak lupa kacamata tipis warna emas menghiasi wajah tampannya. Ia juga membawa payung hitam di genggamannya.


“Kau tidak sadar jika sekarang gerimis?” tanya Dherian yang berdiri di depan bangkuku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


“Kau tidak sadar jika sekarang gerimis?” tanya Dherian yang berdiri di depan bangkuku.

Aku menggumam. “Tidak.”

“Sebelum menjadi deras, alangkah baiknya kau berjalan bersamaku di bawah payung ini,” ajak laki-laki berambut hitam itu.

Aku mengangguk dan tersenyum.

Sambil berjalan ....
“Ra, gerimisnya menyejukkan, ya. Suka sekali kalau begini,” Dherian memulai pembicaraan. Jemari lentiknya sibuk bermain tetesan air. Kemudian senyuman terukir di bibirnya. Aku amati ia sangat senang memainkan tetesan yang turun dari ujung payung.

“Iya. Aku juga merasa gerimisnya sejuk. Jadi ingin makan makanan hangat,” tanggapku sembari bercanda.

“Dingin, ya?” tanya Dherian ketika aku menggosokkan telapak tangan berkali-kali. Ia hendak melepas jasnya, bermaksud memberikannya padaku.

“Eh, tidak, aku tidak kedinginan. Terima kasih tawarannya,” balasku dan menggeleng cepat karena aku tidak mau merepotkannya.

Kami terus berbincang dan diselingi tawa kecil. Tibalah kami di topik pembicaraan yang penting. Yang merupakan awal kami bertemu. Omong-omong, kami jadian sejak kelas 10 semester 1.

***

Hujan turun dengan deras. Aku dan teman yang lain tidak bisa pulang ke rumah. Terpaksa kami menunggu di depan sekolah. Namun saat menunggu hujan reda, mamaku terus meneleponku. Mama menyuruhku untuk segera ke rumah sakit guna menjenguk tanteku yang sedang sakit tifus. Aku hanya menghela napas berat dan keluar dari sekolah melawan hujan.

Saat itu, Dherian juga berada di depan sekolah. Ia yang melihatku berlari kencang pun membuka payungnya. Ia menyusulku. Ia mengikuti arahku, sampai-sampai aku berhenti karena lelah dan ia hampir menabrakku. Aku terkejut ketika tahu bahwa Dherian berada di belakangku. Ternyata ia mengikutiku dari tadi. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Seragamnya sedikit basah, berbeda denganku yang sudah basah kuyup.

Dherian menggenggam tanganku dan kami melanjutkan perjalanan pulang. Selama itu, Dherian terus mengamatiku. Saat aku melirik ke arahnya, ia malah tersenyum sambil memujiku. Tiba-tiba Dherian memintaku berhenti. Aku menurutinya. Kemudian, mata kami saling menatap. Kami terdiam, padahal hujan sedang deras-derasnya. Entah bagaimana ceritanya, sebuah kalimat keluar dari mulut Dherian.

“Damara, aku menyukaimu. Sebenarnya sudah lama aku mengamatimu. Maukah kau ....”

“Aku mengerti. Jadi teman dekatmu? Lebih dari dekat?” tanyaku, memotong perkaataannya.

Dherian kembali terdiam. Ia berusaha menjawab pertanyaanku.

“Iya, itu yang kumaksud,” balasnya sedikit gugup.

Aku mengulum bibir bawahku. Aku harus membalas apa? Batinku. Jari-jariku merapat membentuk genggaman. Setelah lama berpikir, akhirnya aku memutuskan untuk membalas “iya”.

Dherian tersenyum senang. Aku ikut tersenyum, rasanya lega bisa menjawab pertanyaannya secepatnya. Kebetulan aku ada rasa suka padanya. Diam-diam aku selalu  mengamatinya di sekolah. Melihatnya dikerumuni para murid perempuan membuatku iri. Namun hari ini, ia mengakui rasa sukanya. Kini, kami masih malu-malu seakan masa bodoh dengan hal yang terjadi barusan.

Pukul satu lebih dua menit, siang hari, aku dan Dherian resmi pacaran.

***

Kami masih berbincang. Mengenai cerita tadi, agak geli kalau diingat-ingat. Sebenarnya kami berusaha untuk melupakan pertemuan pertama tersebut. Namun, Dherian membuatku kembali teringat.

“Sudahlah. Tidak perlu malu. Toh, itu memang terjadi, kan?” kata Dherian disela tawanya.

“Gara-gara itu, aku jadi terlambat datang ke rumah sakit. Huft!” kataku yang masih sedikit kesal.

“Maaf,” ujar Dherian lemah.

“Tidak apa-apa.”

Aku dan Dherian berjalan keliling taman. Dilindungi payung milik Dherian, kami melanjutkan cerita. Suara tawa kembali terdengar di cerita kami. Di bawah hujan, kami tidak merasakan dingin. Tanganku dan Dherian saling menggenggam membuat kehangatan. Sambil jalan pula, aku menyandarkan kepala di bahu lebarnya. Yang disandarkan menatapku dan mengukir sebuah senyuman.




  

01:02Where stories live. Discover now