1. Kerinduan Anak Rantau

33 9 5
                                    

***

Bising....
Peraduan banyak unsur kebisingan di sore hari. Nyaring kenalpot kendaraan, gemuruh ribuan langkah kaki, dan suara ayat suci yang berasal dari pelantang suara masjid yang tidak jauh dari tempatku berdiri. Lampu-lampu jalan berwarna remang mulai menyala.  Anak-anak kecil berlarian sambil menyincing sarung, hendak ke masjid untuk sholat magrib. Ah, anak-anak itu mengingatkanku pada masa kecilku. Masa kecilku dulu juga sama seperti itu. Setiap senja tenggelam, menaikki sepeda lalu menjemput sejawat untuk sholat di surau dekat rumah.

" Hemm..." aku menggumam. Semua unsur yang tersaji dihadapanku membuatku rindu rumah, rindu kampung halamanku.

  Aku menghirup napas dalam kemudian tersedak debu-debu jalanan, sesak. Inilah aku, anak rantau yang sering merasa sesak akan kerinduan dengan kampung halaman. Rasa yang sudah familiar dua tahun ini, hanya saja belum juga akun berkawan baik dengannya. Aku yakin, setiap perantau pasti pernah merasakan apa yang aku rasa.

Baiknya aku tidak boleh terlalu tenggelam. Segera aku tepiskan perasaanku untuk tidak lebih menggebuh. Aku laki-laki, tidak boleh selemah ini, apalagi menitih air mata hanya karena perasaan rindu.  Entahlah, mengapa ada anggapan laki-laki tidak boleh sensitif. Apa kami dituntun menjadi batu yang tahan bentur? Bodoh amat dengan semua itu, yang jelas aku rindu.

"Kira-kira sore ini ibu masak apa ya? Kangen sayur asem dan sambel terasi buatan ibu." kataku dalam hati. Aku pikir apapun yang dimasak ibu, aku selalu merindukannya, bahkan air putih masakkan ibu pun aku merindukkannya.

Belum juga aku menikmati kekalutan yang tercecer di sudut-sudut pikiranku. Mataku sudah mengerjap karena angin kencang menerpa netraku, mendung. Aku tidak sadar kalau langit sedang berwarna suram. Beberapa kali mulai melintas kilatan lalu disusul suara guntur. Ada satu pertanyaan yang tiba-tiba terbesit di pikiranku. Mengapa sebelum kita mendengar guntur, pasti kita melihat kilat terlebih dahulu?

Pertanyaan bodoh. Alih-alih aku mencari jawaban itu, lebih baik aku harus menyelamatkan diri dan juga buku-buku di dalam tasku yang harus aku jaga seperti anak-anakku sendiri. Tetapi sayangnya gerimis tidak mau bermurah hati untuk membiarkanku pergi tanpa mengucapkan permisi.

Cepat pula gerimis menjatuhi bumi. Belum juga aku menemukan tempat yang teduh, gerimis suda jatuh tanpa permisi. Sepertinya aku boleh berburuk sangka kalau alam sedang berkonspirasi melawan perasaanku. Aku katakan pada kalian, hujan adalah melodi terberat saat mengalirkan hati dan kenangan dalam peraduannya.

Aku masih berlari sambil melindungi tasku yang berisikian buku
"Mendung. Sepertinya ini hari sialku."

Kenalkan, Namaku Samudra Agung. Anak rantau yang mengajar asa dalam pendidikan di pulau garam, madura. Aku mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Mengapa aku mengambil jurusan itu? Simple, aku hanya tidak mau kejang melihat deretan numerik yang mematikkan unsur kehidupan penyusun nyawaku. Aku lemah di matematika. Jadi aku pikir, jika aku masuk jurusan ini, aku tidak akan bertemu dengan musuh besarku, matematika. Tetapi jangan berpikir aku anak bodoh. Aku cukup pandai untuk sekadar mendapat beasiswa dari pemerintah kabupaten asalku.

Aku masih berlari menghindari tetesan dari langit. Tas yang berisikan buku, aku dekap di dalam kemajaku. Lihat buku saja aku jaga baik-baik, apalagi perasaanmu.....hhhhh.



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 02, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku Bisa Jadi Apa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang