The End

10.2K 1K 165
                                    

"Hallo Renjun, bagaimana kabarmu? Haha lucu tidak membaca ini meski aku mungkin sudah menanyakan kabarmu tadi?

Atau seharusnya yang aku tanyakan adalah, maukah kamu menikah denganku?

Renjun, aku tahu bahwa pertanyaan sekaligus permintaanku ini adalah hal gila yang tak pernah kamu bayangkan sebelumnya, karena aku pun menganggapnya begitu. Aku merasa gila! Gila saat menulis ini sembari membayangkan kehangatan di antara kita setelah sekian lama tak bertemu. Gila saat mengingat kembali semua kenangan kita. Rasanya baru kemarin aku melihatmu menggendong Jisung di rumah sakit, menganggapmu aneh karena meminjam uangku seenaknya, dan mengagumi sosokmu tidak lama setelah itu.

Semuanya berlalu begitu cepat, bukan?

Renjun, aku selalu merasa takjub dengan semua yang telah kita lalui selama ini. Aku bahkan masih bertanya-tanya, bagaimana bisa aku menyayangimu sedala, ini? Bagaimana bisa aku selalu merasa bahagia hanya dengan mengingatmu dan semua kenangan kita? Bagaimana bisa aku selalu bermimpi bahwa orang yang akan menemaniku hingga rambutku memutih nanti adalah kamu, seseorang yang aku minta untuk menjadi pendamping hidupku lewat selembar surat ini?

Aku tak tahu apa yang telah terjadi di antara kita akhir-akhir ini. Aku merasa bahwa aku harus memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Bahwa kamu masih mencintaiku dan mendambakan sosokku selayaknya aku yang selalu menginginkanmu. Tapi, lebih dari itu semua, ada satu hal yang ingin aku minta dengan sangat kepadamu.

Bisakah kamu mempercayaiku, Renjun?

Aku tidak bisa mengucapkan janjiku lewat kata-kata indah. Aku tidak ahli dalam hal itu, dan mungkin kamu pun tidak akan suka untuk mendengarnya. Karenanya, selama aku mengenalmu, selama aku mencoba memahami, dan selama aku sadar bahwa aku sangat mencintai dan ingin selalu bersamamu, aku selalu memikirkan satu hal itu. Satu hal yang membuatmu mungkin akan bisa mempercayaiku. Percaya bahwa aku tidak akan pernah pergi dengan sengaja. Percaya bahwa aku membutuhkanmu di atas nama cinta. Dan percaya bahwa kamu pun membutuhkanku sebagai tempatmu untuk pulang.

Aku memikirkan itu di tiap aku memikirkanmu. Hingga pada akhirnya aku cukup yakin bahwa pembuktian itu adalah dengan mengikatmu dalam janji sakral. Janji yang tak hanya kuucapkan dan kau dengar, tapi janji yang sama-sama kita ikrarkan di atas nama Tuhan.

Aku tak butuh apa-apa lagi selain kepercayaanmu jika memang kamu masih menginginkanku. Meski hingga saat ini aku masih mengharapkan itu, mengharapkan kamu masih menginginkanku.

Namun pada akhirnya aku mungkin harus berdamai terlebih dahulu dengan segala kemungkinan yang akan terjadi, termasuk dengan penolakanmu. Saat memikirkan hal yang paling tak kuinginkan itu, aku mencoba untuk membayangkan senyummu dan menganggap bahwa itu mungkin akan membuatmu bahagia. Aku tak mau terlalu egois dan narsis dengan meyakini bahwa hatimu masihlah milikku. Meski terlepas dari semuanya, bayangan soal dirimu yang tersenyum manis di bawah rindangnya pohon apel setelah melempar sebuah apel ke arahku masih tersimpan apik sebagai rol film terindah yang kumiliki seumur hidupku.

Aku terlalu banyak menulis ya? Hehe, suratnya cuma sampai sini, kok. Semoga harimu selalu menyenangkan, Renjunie. Apapun jawabanmu, apapun keputusanmu, pastikan bahwa itu adalah sesuatu yang kau inginkan, sesuatu yang membuatmu bahagia. Tak perlu pikirkan aku. Aku akan bertahan selama kau baik-baik saja.

Dari aku yang selalu mengharapkanmu menjadi rumahku, Lee Jeno.

****

Jeno menunggu keberangkatan pesawatnya sembari memperhatikan lalu lalang orang dengan beragam aktivitas mereka. Kepalanya yang biasanya penuh oleh dialognya sendiri, kini seolah membisu dan menciptakan keheningan yang membosankan. Meski begitu, Jeno tak merasa benar-benar berada di pijakannya sekarang. Ia merasa tubuh dan keberadaannya terlalu bias, menyisakan jiwanya yang meronta ingin terbang, entah kemana.

I'm in Love [NOREN] ✔Where stories live. Discover now