Sixth

1.6K 225 4
                                    

Ingin mengatakan dia bersyukur tentang absennya lelaki itu selama dua minggu ini --sampai-sampai kemarin sujud-sujud dan berakhir mentraktir teman sekantor dari numpang tenarnya dalam kehidupan sang gadis. Atau berpura-pura frustasi tak bisa melihat wajah tampan nan menjengkelkan itu. Dia dilema. Dia sudah terbiasa tanpa kehadiran Shouto. Tapi yang melihat justru seakan lebih tahu kalau ia sangat membutuhkan si pemilik quirk ganda.

Izuku maupun Ochako masih saling berpandangan dengan tatapan menunggu, dia masih mencoba berpikir selogis mungkin, apa iya jujur saja ia memang tak tahu sama sekali. Dia kenal Izuku itu rival sekaligus teman baik Shouto.

Kadang ucapan sedikit saja bisa berdampak aneh dikemudian hari. Tapi kalau kenyataannya selain peristiwa e-mail itu dia tak pernah saling berkomunikasi atau bertatap muka dengan Shouto, apa mau dikata kan?

"Yaoyorozu-san?"

"A-ah Todoroki-san? E-entah." Wajahnya pasti seperti orang bodoh, karena mengatakan kalimat itu dengan senyum kaku dan wajah kebingungan.

"Yaoyorozu-san baik-baik saja?" Ini ungkapan Ochako yang kaget luar biasa dengan ekspresi yang ia keluarkan, karena selama ini hanya ada wajah tenang dan elegannya saja. Shit, dia malu setengah mati.

"Apa kalian sedang berantem? Marahan?"

Tenya yang dari tadi sedang mengobrol ditelefon hanya memandangi ketiga temannya dengan wajah bingung.

Izuku maupun Ochako masih menanyakan keadaan dirinya atau mungkin hubungan dia dan Shouto.

"Kalian membahas siapa? Todoroki-kun kah? Bukannya dia bertugas di Kyoto untuk akhir taun ini?"

Momo serta-merta menoleh dengan wajah tak bisa diartikan. Perpaduan keterkejutan dan juga lega? Kenapa lega? Dia tak sejahat itu mendoakan lelaki itu agar menghilang saja dari dunia. Hanya perasaan lega setelah mengetahui kabar terakhirnya saja.

Kyoto ya? Lumayan jauh.

"Nah beneran marahan ya? Sampai Yaoyorozu-san tak tahu kabar begitu." Ochako tak terdiam juga dengan teori-teori dikepalanya. Wajah berpikirnya entah kenapa membuat Izuku berpaling dengan semburat diwajah. Ah sudah terlihat kalau mereka memang pasangan yang serasi, omong-omong sebersit rasa iri memercik menyengat hati kecil Momo.

"Marahan atas dasar apa?" Dia tertawa hambar, seakan memberhentikan fokus ketiga sahabatnya tanpa sengaja.

"Eh?"

"Aku tak merebut kliennya, dia juga tak merebut klienku, kami tak memiliki dasar untuk saling marah."

Bukankah terlihat menyedihkan sekarang? Mereka bertiga bahkan sangat tercengang. Sejauh itu jalur informasi menembus telinga mereka bertiga?

Ochako sigap mengalihkan perhatian Momo dengan mengundangnya melihat peliharaan barunya dan Izuku. Seekor anak kucing yang manis di telepon genggamnya.

Sementara kedua lelaki lain saling berpandangan dan mengiyakan apa yang jadi kesimpulan masing-masing pikiran.




...




"Apa katamu? Reuni? Aku tak datang, ada pertemuan dengan klien dan beberapa urusan keluarga di Kyoto."

Shouto melonggarkan dasi, setelah sebelumnya mengakhiri panggilan secara sepihak. Side-kicknya memberitahu jadwalnya minggu ini. Persetan dengan apa pun itu yang ia katakan. Shouto sudah ada janji di Kyoto. Selain memang ada klien, ia juga disuruh sang ayah untuk menemuinya.

Mungkin mau mengenalkan calon istri? Siapa tau kan? Shouto si iya-iya saja soal klien, kalau soal istri bisa dipikirkan besok-besok. Membahas soal istri mau tak mau dia menerawang tentang seorang gadis yang sudah dua minggu ini tak pernah ia temui.

Dia pasti akan ikut dalam acara reuni, lalu banyak dari angkatannya yang akan meminangnya disana, dan tiba-tiba mereka menjadi dekat, lebih dekat, lalu menjalin hubungan spesial lalu berakhir dengan apa lagi kalau bukan menikah.

Shouto akan berada di Kyoto melewatkan momen awal kehidupan baru sang gadis. Dia kecewa berat? Iya, dia masih memiliki jiwa kepengakuan atas gadis itu secara absolut. Soal hati mungkin sudah separuhnya di blacklist dari yang punya. Tapi dari sekian lelaki yang ia anggap sebagai calon rival, dia tak pernah melihat satupun yang mampu menyainginya, maklumi saja ia menyombongkan diri, toh memang itu adalah standar kalau mau menjadi pendamping mantan wanitanya.

Tapi satu hal yang pasti, ternyata walau Tenya tak mengibarkan bendera perang dalam memenangkan Momo, gadis itu malah memiliki poin plus padanya. Dia bahkan memikirkan menikah dengannya.

Apa yang bisa Shouto lakukan? Bagaimana kalau Tenya sama-sama suka padanya. Terus apa mungkin Shouto hanya akan berakhir menjadi teman suami Momo? Mengecewakan sekali. Dia menggerutu dalam batin. Menghilangkan stres pekerjaan dengan stres percintaan. Sungguh luar biasa si bungsu Todoroki.

Omong-omong pernikahan, dia dipaksa menikah oleh sang ayah tahun depan, mungkin atau lebih tepatnya kemungkinan besar sang calon istri juga dipilihkan sang ayah.

Satu-satunya yang tahu soal kekasih tercintanya--mantan hanyalah sang ibu. Rei bahkan tersenyum sendu saat Shouto mengatakan ia menyadari cintanya pada gadis itu bulan lalu.

Apa ibunya sangat kecewa sampai tak berkomentar apa-apa?

Lalu kedatangan Momo ke ruang rawat ibunya setiap minggu apa maksudnya? Bukankah gadis itu terlalu naif? Mengunjungi mantan calon mertua setiap minggu--tak selalu datang si lalu dia masih menebar senyum dan bercerita macam-macam pada ibunya apa maksudnya coba?

Shouto memang terlalu bodoh sampai tak mempedulikan ketulusan gadis itu selama ini, tapi kalau sampai ia yang sudah menyakiti sedemikian rupanya masih membuat gadis itu berkunjung ke tempat ibunya, apa dia tak salah tempat? Bukankah seharusnya gadis itu ada di Nirwana? Dia sudah pantas disebut malaikat dalam hal ini. Lupakan bibirnya yang akhir-akhir ini tampak lebih pedas dan mengandung umpatan-umpatan kecil walau tak kentara.

"Mulai menyesal?"

Shouto terhenyak, hadir seorang rivalnya didalam ruangannya sendiri.

"Hah?"

"Momo, tambah menawan omong-omong."

Shouto menajamkan heteronya, pemuda bernama Neito mengambil duduk dihadapannya. Mengotak-atik pajangan meja yang terjejer rapi di depan mereka.

"Ada apa kau kesini?" Neito menghembus nafas kasar, pemuda bernama Todoroki Shouto memang susah dihasut, dari dulu wajah dan kepribadian bak triplek selalu menjadi kelemahannya tersendiri untuk memulai persaingan entah secara sehat atau bukan dengan manusia satu ini.

"Ini titipan dari Kendo, dia bilang acara Reuni angkatan kita mengharuskan semua orang hadir."

"Oh."

Singkat, selanjutnya Neito benar-benar ingin menghajar wajah tampan dihadapannya, tak adakah ekspresi lain selain pandangan lurus terhadap undangan reuni sialan itu? Dan apa-apaan wajah triplek yang ia suguhkan.

"Kau ikut tidak? Kalau tidak syukurlah, sainganku berkurang."

"Hm."

Kosakata yang ia lontarkan terlampau sedikit bahkan dibawah standar, dan sudah pasti Neito memilih berdecak sebal lalu pergi dari sana secepat mungkin.

"Lelah bicara dengan orang sepertimu."

Diam-diam Shouto menanamkan baik-baik sifat Neito itu yang terus terang dan tak kenal takut. Sikap ini memang pantas ia sebut jempolan karena kepercayaan diri itu juga sangat dibutuhkan. Termasuk niatan merebut mantan wanitanya.















Tbc

Sorry buat chapter sebelumnya, astaga error watty saya TwT

Wildest DreamWhere stories live. Discover now