7. Kunci

13.7K 2.1K 32
                                    

Kruukk...

Aku memegang perutku yang berbunyi. Kenapa tiba-tiba jadi laper ya? Ah, ini pasti karena kurang sarapan terus langsung jalan-jalan. Aku menengok ke tukang makanan di sekitar taman ini. Hmm, kayaknya makan lontong sayur enak kali ya? Aku pun lantas menghampiri gerobak biru yang bertuliskan 'Lontong Sayur Pakde' di kaca bagian depannya.

"Pak, mau satu ya, pakai telor," ujarku sambil duduk di bangku panjang yang memang sudah disediakan di belakang gerobak.

"Oke, Neng. Tunggu sebentar yaa."

Sambil menunggu pesananku siap, aku mengambil gelas kaca dari nampan kotak dan menuangkan teh hangat dari teko yang memang sudah tersedia di atas meja kayu di depanku ini.

"Ini, Neng. Silahkan."

Begitu pesananku datang, aku pun langsung melahapnya. Ah, makan memang adalah tindakan paling tepat untuk mengembalikan suasana hati yang rusak.

***

Aku kembali ke rumah setelah puas jalan-jalan tidak karuan. Setidaknya sekarang perasaanku sudah lebih tenang karena perutku pun juga sudah kenyang.

Kulihat Papa duduk di teras. Sepertinya ia menungguku karena begitu melihatku memasuki halaman, Papa langsung berdiri dan menghampiriku.

"Dari mana, Ya?" tanyanya.

"Habis olahraga aja, Pa, lari-lari kecil keliling jalan," jawabku.

Papa tersenyum, mengusap kepalaku dan mengajakku duduk di teras bersamanya. "Omongan Mama tadi jangan diambil hati yaa," ujarnya saat kami sudah duduk berdua di teras.

Aku menghela napas sejenak sebelum kemudian mengangguk. "Nia minta maaf ya, Pa. Nia belum bisa melakukan sesuatu yang bisa membahagiakan Papa dan Mama."

Papa menggeleng. Ia kemudian menggeser posisi duduknya lebih dekat denganku. Satu tangannya kemudian merangkul bahuku. "Papa bahagia kok punya anak gadis seperti kamu. Kenapa juga Papa harus gak bahagia?" tanyanya

Aku tersenyum kecut. Papa ini pasti hanya sedang mencoba membesarkan hatiku saja. "Yaa Nia kan belum bisa seperti anak-anak lain yang seusia sama Nia tapi sudah pada punya pekerjaan tetap untuk membiayai hidup orang tuanya, bisa ajak orangtuanya liburan, atau bahkan pergi umrah."

Papa mengeratkan rangkulannya sambil menepuk-nepuk bahuku. "Kamu dengar Papa ya sayang. Kebahagiaan buat Papa itu bukan tentang kepuasan materi, tetapi tentang perasaan senang dan tenang ketika kita bisa bersyukur dengan apa yang kita miliki. Kalau bahagia itu cuma tentang materi, coba lihat Raja Fir'aun yang kaya raya, harta berlimpah, berkuasa, tapi apa hidupnya bahagia?"

Aku tertunduk diam. Tangan Papa yang semula di bahuku pun pindah mengelus kepalaku. "Kunci bahagia itu bersyukur, sayang. Bukan tentang harta, takhta, atau bahkan cinta semata. Jika kita menggantungkan kebahagiaan pada harta, suatu saat Allah ambil kekayaan kita maka kebahagiaan juga akan ikut hilang. Pun jika kita gantungkan kebahagiaan pada takhta atau cinta bila suatu saat Allah jatuhkan kekuatan kita atau Allah cabut nyawa pasangan kita maka kebahagiaan pun akan ikut pergi. Padahal, masih ada kehidupan yang perlu kita lanjutkan. Untuk itu kita perlu gantungkan kebahagiaan pada rasa syukur. Semakin banyak kita bersyukur, maka semakin besar kebahagiaan kita sekalipun mungkin kita akan kehilangan harta, takhta, dan cinta tapi selama masih ada syukur maka bahagia akan tetap mengikuti."

Aku mendongakkan kepalaku menatap Papa dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Pa..." lirihku yang langsung melingkarkan lenganku di pinggang Papa dan meluapkan air mataku di dadanya.

Kurasakan hangat tangan Papa membalas pelukanku. "Sabar ya, sayang. Kamu pasti kuat dan Papa percaya itu. Kata-kata Mama mungkin terkadang tak enak didengar, tapi Papa tahu Mama sangat menyayangimu."

***

To be continue

Karunia di Seperempat Abad (E-book)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang