Elina Cemburu? (2)

4.1K 232 5
                                    

PAK DOSEN I LOVE YOU!

"Eeel! Kenapa ninggalin gue, sih?!” protes Lisa setelah Elina membuka pintu kamar. Wajah sahabat elina itu merengut kesal.

“Kebelet, Lis!” jawab Elina asal, dengan perasaan dongkol tak terkira, tak jelas disebabkan oleh apa.

Entah mengapa bayangan Bima yang sedang bermesraan di pintu ruangan tadi membuat Elina uring-uringan. Betapa tidak, adegan yang terekam di pikiran Elina tak jua pergi, sekuat apa pun gadis itu mengusirnya. Ada kekecewaan mendalam yang ia rasakan karena hal itu.

“Lo mules karena disemprot sama Pak Bima?” terka Lisa. “Aduuh ... maafin gue, ya.” Sahabat Elina itu menangkup tangan di depan dada, sambil mengedip-ngedipkan mata.

Elina mengatupkan bibirnya rapat. Selain tak ingin menjawab, dia masih berusaha menetralkan perasaan yang bergejolak tak menentu. Apa mungkin dia terlalu berharap akan sepatah kata yang ditulis Bima, Elina juga ragu.

Baru saja Lisa akan berucap, saat Bu Ningsih berdiri tepat di depan pintu kamar mereka. Pemilik rumah kost itu mengucap salam sambil mengutus senyuman.

“Bu Ningsih, ada apa?” Lisa bangkit dari duduknya.

“Kalian pada sibuk nggak?” tanya Bu Ningsih sambil melenggang dan duduk di karpet bulu.

“Kenapa, Bu?” Elina menyahut.

“Jadi gini, Bapak tuh malem ini lembur di kantor karena akhir bulan. Tau sendiri, kan, pegawai bank menjelang tutup buku?”

“Terus?” Lisa menyimak.

“Nah, ntar malem tuh ibu mau ke pesta anak temen. Masa ibu jalan sendirian? Kan nggak asik?” Wanita itu melayangkan tatapan memohon.

Elina dan Lisa merupakan penghuni yang paling akrab dengan Bu Ningsih. Bukan tanpa alasan, karena keduanya tinggal di sana sejak awal kuliah hingga nyaris selesai. Keduanya bahkan sering memasak bersama pemilik kost itu saat akhir pekan. Sesekali juga Bu Ningsih mengajari Elina menjahit, juga menyulam.

“Yaaah ... sebenernya saya mau sih, nemenin Ibu. Tapi nanti malem ada temen-temen mau dateng ke sini buat rapat, Bu. Gimana dong? Mana saya ketua panitia Mubes lagi.” Lisa tampak menyesal. “Oh iya, El ... lo bisa nemenin Bu Ningsih, kan?”

Elina terkejut sesaat, lalu terlihat berpikir. Sebenarnya, setelah hatinya kacau sejak sore, dia lebih memilih tidur ketimbang keluar rumah. Namun, menolak Bu Ningsih yang begitu baik, membuatnya tidak tega.

“Gimana, El?” Bu Ningsih mengajukan tanya, penuh harap.

Elina tampak ragu, tetapi kemudian dia mengutus senyuman manis. “Boleh deh, Bu. Nanti saya temenin.” Jawaban yang membuat Bu Ningsih semringah.

“Tapi, Bu ... saya nggak punya gaun cantik, gimana dong?”

“Masalah itu mah gampaaang! Ibu ada beberapa gaun jaman masih langsing. Bisa disulap dikit, pasti kamu cakep banget!” Bu Ningsih bangkit, dan bergegas meninggalkan kamar di lantai dua itu.

***

“Aduh, maaf banget, Bim ... aku lama ya?” Adinda melangkah cepat menghampiri Bima yang duduk di lobi hotel. Membuat heels sebelas senti yang dikenakan wanita itu berderap di lantai marmer yang mengilap.

Bima mengangkat wajah dari ponsel yang jadi pusat perhatiannya, dan terkesiap dengan apa yang dia lihat. Tak jauh di depannya, Adinda berdiri dalam balutan kebaya hitam tanpa lengan. Dipadu kain batik hitam dengan sulaman benang keemasan, membuat Adinda tampak sempurna. Menampilkan sepasang kaki jenjang yang mulus, serta lekuk tubuh yang ... menggoda.

Pak Dosen, I Love You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang