BAB 5

103 22 43
                                    

Setelah sepuluh hari lamanya, Jaemin akhirnya kembali.

Aku menyambutnya dengan hangat karena tau kalau ia pasti lelah.

Setiap hari aku selalu membersihkan kamar yang dipakai Jaemin agar kalau dia pulang, dia bisa langsung istirahat dengan nyaman meskipun aku juga tidak tau kapan ia pulang. Jangankan hal itu, aku ini rumah baginya atau apa saja aku juga tidak yakin.

Tapi bersyukur, Jaemin kembali. Ah, aku pasti akan mati kesepian jika ia tidak kembali padaku.

Dengan senyum hangat dia mengacak rambutku dan menatap mataku dalam.

"Kamu nungguin aku ya?"

Lantas aku segera mengangguk, "Setiap hari."

"Maaf ya kalau kamu harus terbiasa menunggu setelah mengenalku."

"Tidak papa, meskipun kamu menemukan rumah lain suatu hari nanti, aku akan terus menunggu dengan penuh harap."

"Mengapa aku menemukan rumah lain kalau kamu sudah cukup nyaman?" Jawabnya sambil tersenyum.

Aku merasakan hal lain, senyumnya yang dulu terlihat sedikit menyeramkan dan membuat aku tak tenang kini sepenuhnya berubah. Aku tak lagi menyimpan rasa seperti itu. Yang ada di hatiku hanyalah debaran.

Sejak kapan jantungku bekerja dua kali lebih cepat?

Sejak kapan aku merasa tentram hanya dengan menatap manik legam milik seseorang?

Bahkan ketika hari ini aku harus mati aku siap, karena aku berada dalam puncak kenyamanan.

Ya, aku memang belum pernah mendapati tenangnya berada di samping manusia lain.

"Elin, kamu udah makan?"

Aku menggeleng.

"Mau tumis daging babi? Aku juga membawa usus untuk kita jadikan sate usus pedas. Kamu suka usus engga?"

"Ah tumis daging babi ya? Kayanya lezat. Aku lapar." Kataku seraya memegangi perutku.

"Kamu ini, baiklah, tumis daging babi dan sate usus pedas akan segera singgah ke dalam perutmu."

Jaemin tak lagi banyak bicara. Ia segera bergegas ke dapur untuk mulai memasak. Sementara aku sedang membuka karung hitam di tas yang tadi ia bawa.

Kudapati baju kotor dengan percikan darah di salah satu tumpukan.

"Kamu berburu?" Tanyaku dengan sedikit keras.

"Kenapa tanya begitu?" Jaemin mendelik. Ah, kenapa ia sangat terkejut?

"Tidak, itu, aku menemukan pakaianmu dan ada bercak darah disana."

"O,ooh, iya. Benar aku berburu dihari kedua aku bertualang. Haha, aku lupa."

"Oh. Lalu usus itu hasil buruanmu?"

"Iya."

"Hewan apa?"

Jaemin tersenyum. "Nggak usah tau deh, kamu nanti jadi engga doyan. Yang penting, rasanya enak. Kamu engga keberatan kan makan usus ini?"

Aku segera menggelengkan kepalaku untuk membuatnya tidak tersinggung.

"Anak baik." Katanya memujiku.

Aku membawa kursi rodaku mendekat ke arahnya.

"Jaemin, aku membunuh sembilan anak kucing dan dua kucing yang sedang hamil. Aku juga membunuh seekor anjing. Apa mereka tenang di akhirat sekarang?"

Jaemin tersenyum. "Kamu punya keberanian sebanyak itu?"

Aku tertegun.

"Aku enggak tau kalau kamu benar-benar berani dalam melakukan kebaikan. Dewa pasti sangat menyayangimu."

Aku tersenyum senang. Aku mulai merasa menjadi manusia pada umumnya. Kehidupan ini terasa semakin nyata.

"Kamu kubur dimana bangkai kucingnya?"

"Aku kubur di halaman belakang. Susah payah aku menguburnya karena aku enggak bisa jongkok."

"Aku dengar sebuah cerita yang mungkin engga akan kamu sukai, tapi begitulah. Mukjizat itu nyata."

Aku mengangkat kedua alisku bingung.

"Bagaimana maksudnya?"

"Ingat cerita tentang laki-laki yang aku temui di kuil engga, Lin?"

"Ingat."

"Kamu tau engga, setelah kucing itu meninggal, dia meminta anaknya yang bisu sejak lahir untuk memakan bangkai kucing itu. Aku mual saat melihat perempuan kecil berusia tujuh tahun memakan bangkai kucing mentah-mentah. Tapi kamu tau engga keajaiban apa yang datang?"

Aku menggeleng.

"Setelah dua tahun memakan bangkai kucing itu, perempuan kecil itu bisa bernyanyi dengan merdu. Hidupnya penuh dengan harta sekarang, meskipun usianya masih sangat belia."

Aku merasa mual pada perutku, namun aku ingin tau lagi.

"Bagaimana bisa? Apa hubungannya?"

"Arwah yang mendapat kutukan itu berterimakasih. Mereka berdoa persis di hadapan Dewa. Ah, aku mengatakan ini bukan untuk kau coba Lin. Jangan ya? Meskipun aku pasti akan mencintai kamu kalau kamu bisa jalan. Tapi jangan di coba."

"Kamu mencintai aku kalau aku bisa jalan?"

"Siapa yang tahan dengan gadis anggun sepertimu, Elin?" Jaemin mematikan kompornya.

Ia menuangkan tumis daging di atas mangkuk serta menuangkan bumbu untuk sate usus pedas di mangkuk lainnya. Setelah itu, barulah di letakkan di atas meja.

"Meskipun aku sering berfantasi mendaki gunung dan berpetualang bersama kamu hehe. Dah, makanan siap, ayo kita makan."

Ah, semua yang dikatakan Jaemin terasa menyenangkan. Apa aku harus memakan bangkai kucing itu diam-diam.

Jaemin tiba-tiba berbicara, padahal tadinya hening. Aku juga tidak menyuarakan apa yang ada dalam kepalaku. Tapi dengan senyumnya, Jaemin berkata. "Lakukan apapun yang kamu ingin Elin. Makanlah usus ini, kamu akan menyukainya."

Aku mengangguk. Dan mengambil sate usus untuk ku masukkan kedalam mulutku.

"Nyam, enak." Kataku disertai tawa.

"Setelah makan, mau mandi bareng? Aku mau menunjukkan sesuatu."

"Apa itu?"

"Sebuah luka di punggungku. Aku malu memilikinya seorang diri. Mau enggak kamu melukai punggungmu supaya punya luka yang sama dengan aku?"

"Dari mana kamu dapetin lukanya?"

"Jatuh. Tapi kamu bisa membuat luka yang sama jika sedikit demi sedikit melukai punggungmu dengan silet."

"Baiklah. Nanti bantu aku membuat luka ya?"

"Terimakasih Elin. Kamu sahabat terbaik yang aku miliki. Makanlah ususnya lagi."

Makan malam berlalu dengan sangat menyenangkan.


× Tbc ×


Juniwish
20:27
826

SMILE | NA JAEMIN ✅Where stories live. Discover now